Jumat, 09 September 2011

Puskesmas Tebing Tinggi, meski tak dapat ISO seperti Puskesmas Paringin, dapat cempedak tak apalah......


Bicara tentang cempedak atau kami biasa menyebutnya tiwadak, adalah buah yang tidak asing bagi kami di pahuluan, buah ini adalah buah musiman, artinya tidak setiap saat kami bisa merasakan buah yang satu ini. untuk wilayah Hulu Sungai, buah ini biasanya di drop dari Kebun – kebun di daerah kabupaten Balangan dan kabupaten Tabalong.Buah ini kerap di jumpai di saat awal awal musim penghujan, selain dipasar – pasar tradisional buah ini kerap juga di tawarkan oleh para penjual di sepanjang jalan provinsi di kecamatan batu mandi sampai perbatasan antara kabupaten Balangan dan kabupaten Tabalong, juga dipinggir – pinggir jalan kecil di kecamatan Tebing Tinggi Awayan dan Kecamatan Tebing Tinggi
Dari Ibu Dra.Siti Sarniah ( Acil Niah ) yang merupakan seorang guru mata ajar Biologi di SMUN I Barabai, beliau menjelaskan bahwa Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara, dan menyebar luas mulai dari wilayah Tenasserim di Burma, Semenanjung Malaya termasuk Thailand, dan sebagian Kepulauan Nusantara: Sumatra, kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga ke Papua. Juga banyak didapati di Jawa ba gian barat. Buah ini dikenal secara luas denganbeberapa nama lokal seperti bangkong (bentuk liar, Malaysia), baroh (Kep. Lingga dan Johor), nangka beurit (Sunda), nongko cino (Jawa), tiwadak (Banjar) dan lain-lain, kata beliau lagi Klasifikasi ilmiahnya adalah bahwa buah ini masuk dalam kerajaan Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Urticales, Famili Moraceae, Genus Artocarpus, dan dari Species A. champeden, nama biomalnya adalah Artocarpus champeden
Spreng.
Bentuk buah, rasa dan keharumannya seperti nangka,hanya saja buah tiwadak atau cempedak ini lebih kecil, lebih lonjong dan kadang lebih panjang dari buah nangka, meski aromanya kerap kali menusuk kuat mirip buah durian.
pohon cempedak
Secara alami, cempedak liar banyak dijumpai di hutan hujan dataran rendah, baik hutan primer maupun sekunder. Tumbuh hingga ketinggian sekitar 1000 m dari permukaan laut, pohon buah ini menyukai daerah-daerah dengan musim kering yang tidak tegas, lahan dengan permukaan air tanah yang dangkal, dan bahkan tahan sesekali tergenang banjir.  Menurut Abah Agus atau Bapak Adul yang pernah menjadi Bos kayu, dan pemilik bangsaw ( Tempat pengolahan kayu ) di Desa Sungsum Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Balangan,Kayu pohon tiwadak termasuk kayu yang  berkualitas baik, kuat dan awet, sehingga kerap digunakan sebagai kayu bangunan, bahan perabotan rumah, atau bahan perahu. Kulit kayunya yang berserat dapat digunakan sebagai bahan tali, dan getahnya untuk mamulut ( menjerat )burung. Dari kayunya juga dapat dihasilkan bahan pewarna kuning. Menurut beliau lagi bentuk tiwadak kalau di gambarkan Pohonnya  selalu hijau, sedang besarnya, tingginya dapat mencapai 20 meter meski kebanyakan hanya belasan meter. Ranting-ranting dan pucuk dengan rambut halus dan kaku, kecoklatan.
Mandai atau dami asinan dari kulit cempedak
Di wilayah Kecamatan Tebing Tinggi dan bahkan di wilayah Kalimantan Selatan, cempedak yang dalam bahasa Banjarnya tiwadak ini, hampir semua bagian dari buahnya dapat dikunsomsi, daging buah yang berwarna kuning ini bisa dikonsumsi secara langsung atau diolah dengan campuran tepung , kemudian di goreng, apabila diolah dengan di goreng ini dikenal sebagai Guguduh tiwadak, sedang tiwadak anum ( cempedak muda ) biasanya dibakar ditambahkan larutan santan kelapa yang di namakan parung tiwadak,dijadikan sayur makan.bijinya bisa direbus kemudian setelah matang dimakan dengan parutan kelapa dan taburan garam di kenal dengan biji tiwadak bajarang, menurut unya (bibi/acil/ paman bungsu ) bini, ada tehnik tersendiri dalam menikmati biji tiwadak bajarang ini yaitu harus dengan mandai atau dami goreng, tujuannya adalah agar hasil kunyahan biji tiwadak tidak menempel pada bagian belakang gigi.kemudia kulit biji tiwadak pun dapat diolah, yaitu pertama – tama sebelum diolah, terlebih dahulu kulitnya  dikupas bagian luarnnya sampai putih, termasuk tangkung (tempat menempel daging buah tiwadak menempel )kemudian direndam dalam air matang yang di beri garam,tujuan  direndam dengan air garam adalah untuk mengawetkan dan melunakkan teksturnya. Rendaman dapat dilakukan selama beberapa jam bahkan hingga sebulan setelah beberapa hari kemudian dapat diolah menjadi makanan yang dinamakan mandai atau ada juga yang menyebutnya dami. Mandai atau dami ini dikonsumsi dengan cara menggorengnya hingga kecoklatan, di jadikan lauk atau lalapan makan, ada juga dimasak santan dengan iwak ( ikan ) talang ( cakalang ) kering, atau iwak papuyu anak….pada kesempatan yang yang lain kami mencoba menanyakan kepada Firmansyah salah seorang karyawan honorer di kantor kecamatan Tebing tinggi, yang merupakan putra daerah asal desa sungsum tentang adakah pemanfaatan kulit tiwadaknya, dengan enteng dia menyebutkan bahwa kulit tiwadak bisa juga di gunakan untuk menggaruk punggung yang gatal, sambil berlalu dari hadapanku yang kebingungan,sambil menjanjikan nanti akan memberitahukan caranya menggunakan kulit tiwadak ini…….setelah beberapa menit kemudian baru tersenyum, Kemudian tertawa, ternyata untuk yang satu ini aku benar – benar telah dikerjainya
mandai/dami yang telah diiris dan siap untuk diolah
2 hari setelah itu seusai magrib pintu rumah dinas petugas kesehatan yang ku tempati, di ketuk, setelah kubuka ternyata Firman datang berkunjung kerumah dengan membawa bungkusan plastik berisi buah tiwadak, dan malam itupun jadilah pesta tiwadak, namun untuk tawarannya untuk mempraktekkan cara menggaruk punggung yang gatal menggunakan kulit tiwadak, dengan tegas kupastikan tidaaaaaak.......dan sekali lagi meski tulisan ini tak ada hubungannya dengan judul tak apalah......ini hanyalah bagian dariku dalam mengartikan kebebasan berbicara dalam blog ini, namun dalam hati dengan tulus mengucapkan selamat kepada puskesmas Paringin yang telah ditunjuk menjadi Puskesmas dengan ISO 9001:2008 nya, sedang bagi kami di Puskesmas Tebing Tinggi cukuplah membicarakan masalah cempedak aja dulu....hmmmmm

Kamis, 08 September 2011

Mengunjungi Bukit sion

panorama bukit sion

Jangan di artikan dari judul di atas bahwa kami benar – benar  mengunjungi Dataran tinggi disebelah barat yuresalaem yang kini disebut Bukit Sion itu. Bukit sion yang kami kunjungi ini adalah nama posyandu di Desa Panikin, Desa Panikin ini merupakan nama anak desa Mayanau di kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Balangan, ternyata untuk ke Tebing Tinggi tidak harus jauh – jauh ke Pulau Sumatera, di Kalimantan selatan juga ada.
Sejarahnya Dataran tinggi disebelah barat juresalaem yang  kini disebut Bukit Sion. Namun aslinya nama itu milik benteng Orang – orang Yebus. Setelah benteng itu di rebut oleh raja Daud, ia menamakannya kota Daud, sebagaimana tercatat dalam kitab ke II Samuel, daud berhasil merebut Benteng  Sion dan mendudukinya. Ia menamakannya Kota Daud. Makam Raja Daud terletak di Bukit Sion yang merupakan ayah dari Salomo. Kota itu di bangunnya di sekeliling benteng itu, mulai dari sebelah timur bukit ( 2 sam 5:9 ). Setelah tabut perjanjian di pindahkan ke bukit dimana kemudian di dirikan bait suci, bukit itulah mulai di sebut sion atau bukit Sion. Di jaman Herodes muncul keyakinan bahwa Daud mendirikan bagian barat kota yuresalem. Keyakinan itu di lestarikan dalam nama menara Daud. Setelah Jerusalem dihancurkan oleh Roma, umat Kristen mulai tinggal di bukit bagian barat, sekitar gereja senakel . maka bukit dimana terletak senakel di samakan dengan Bukit sion yang dikenal dalam alkitab. Sejak itu nama tersebut di pakai secara resmi. Namun Bukit sion yang dikenal dari perjanjian lama sesungguhnya tidak sama dengan bukit sion menurut umat Kristen.
Desa ini memang terpisah jauh kurang lebih 7 KM jaraknya dengan Desa induknya, Mayanau, untuk mencapai anak desa ini meski melewati desa simpang nadong kecamatan tebing tinggi, dari Puskesmas tebing tinggi, yang berada tepat di desa simpang nadong nomor 1 berjarak kurang lebih 4 KM, sebelum tahun 2010 untuk mencapai panikin meski melewati jalan – jalan tanjakan yang cukup menantang,jalan – jalan setapak mendaki yang licin dengan jalan berwarna kemerahan khas tanah pegunungan, kadang – kadang kita mesti melewati kubangan lumpur apabila mengunjunginya di saat musim penghujan. anak desa ini tepatnya memang berada diatas perbukitan.
jalan menuju desa panikin
Pada saat sekarang jalan – jalan setapak tersebut sudah tidak ada lagi, sejak awal tahun 2010 jalan jalan setapak yang biasa kami lewati dalam kegiatan Pusling dan posyandu ke panikin, Bukit Sion kami anggap di delete, sekarang jalan tersebut telah di perlebar, dengan lebar kurang lebih 1 meter, jalannya sudah di padatkan meski memang tidaklah sepadat jalan aspal hot mix,  dengan batu kali plus kerikil boleh lah kita katakan sebagai jalan……namun jangan dianggap tantangannya telah hilang, untuk mencapai bukit sion di panikin ini tetap di perlukan usaha ekstra hati – hati, terutama di musim penghujan, karena pada saat ini jalan – jalan di sana akan terasa lembek dan sedikit agak licin, tidak jarang pada saat kita mendaki dan menuruni jalan yang berbukit tak rata ini terdapat kubangan air.
Meski untuk mencapai panikin, bukit Sion sekarang ini bisa dengan menggunakan kendaraan roda 4, kami lebih senang menggunakan sepeda motor, rombongan biasanya terdiri dari 1 juru imunisasi, 1 Bidan, 1 Petugas Gizi, 1 perawat, dan 1 orang Dokter, dengan jumlah seperti ini kami menggunakan 3 atau 4 buah kendaraan, dan kami gunakan secara berboncengan.
Tidak ada perlengkapan khusus yang kami gunakan dalam kunjungan – kunjungan ini, semua serba standar saja, helm safety, dan yang jelas sepasang Boot karet……pusling dan posyandu ini pun kami selesaikan dalam 1 hari, bolak balik kepuskesmas + kegiatan paling selama 4 jam, namun dalam perjalanan singkat ini merupakan saat bagi kami memanjakan alam perasaan kami, udara sejuk khas pegunungan menjadi bagian kami,bebas polusi,……. padang ilalang yang menghijau, melewati perkebunan karet, back ground bukit bukit menghijau, kadang terpikir oleh ku sebegitu dekat kaki langit denganku, ingin rasanya mendekati gumpalan – gumpalan awan putih itu, berselancar di bukit – bukit yang hijau…..begitu sempurna tuhan mencipta.
gereja panikin
Panikin yang merupakan anak desa mayanau ini dihuni oleh kurang lebih 25 KK, warganya bersuku dayak, yaitu suku rumpun dayak bukit, namun berbeda dengan daerah yang di huni oleh suku dayak, daerah ini tidak terdapat balai adat sebagai tempat ritual keagamaan,sebagai gantinya disini terdapat gereja, para misionaris krisren telah datang sejak kurang lebih 20 tahun yang lalu, bangunan gereja Nampak sederhana, hanya di bangun dari kayu, itupun bukan dari kayu pilihan yang terbaik, dalam istilah orang banjar basusun sirih, bangunan ini di cat kapur warna putih yang sudah mulai memudar dan kusam…..atapnya dari seng, dari luar tidak tampak bahwa ini adalah bangunan gereja, bentuk bangunan gereja ini memang mirip dengan rumah – rumah warga lainnya, tidak ada papan plang……. namun pada saat kita melihat ke dalam ruangan barulah tahu bahwa ini adalah bangunan gereja. penghasilan para warga di sini adalah dari sector pertanian dan perkebunan, biasanya mereka menanami lereng – lereng gunung dengan pohon karet, padi yang biasa di kenal dengan manugal, sedang apabila menanam di dataran yang rata, tempat untuk menenam padi ini di sebut paradenan, beras hasil tugalan ini biasanya kami sebut beras gunung, beras ini terasa enak, sangat harum, dan pulen,…….. untuk mencukupi kebutuhan lauk pauk lainnya, masyarakat di sini juga menanam aneka sayur sayuran seperti bayam dan sawi, juga beternak terutama aneka unggas, kambing dan babi.
bagian dalam gereja
 Posyandu bukit sion berada di rumah bapak pendeta, persis di sebelah kanan bangunan gereja, di dekat rimbun pohon mangga yang menghijau ……… jangan berpikir bahwa posyandu ini selayaknya posyandu seperti yang di tulis di buku – buku teori, tidak ada meja, kegiatan posyandu sekaligus pusling ini semua serba lesehan, kesadaran masyarakat sudah baik akan pentingnya keposyandu.kegiatan berlangsung kurang lebih 2 jam 30 menit, tidak ada yang istemewa yang dapat ku tuliskan dalam kegiatan posyandu ini, semua berjalan dengan santai dan di selingi dengan senda gurau.
posyandu bukit sion, menunggu kader
Entah seperti apa suasana malam di tempat ini, beberapa bulan yang lewat saat kami mengunjungi panikin, ditempat ini belum terdapat penerangan dari pihak PLN, pada saat terakhir kami berkunjung kesini, kami melihat diatap atap rumah penduduk sudah terdapat panel Surya – surya cell yang akan mengubah sinar matahari menjadi energi listrik,panel surya – surya cell menghasilkan arus listrik searah DC yang tersimpan dalam aki yang akan menyalakan lampu LED ( Light Emitting Diode ), kabarnya lampu LED 3 Watt setara dengan lampu AC 15 watt. syukurlah listrik tenaga surya sudah menerangi desa, meski memang kemampuannya jelas terbatas.
Di panikin sudah ada Sekolah Dasar negeri, yaitu SDN Panikin, hanya saja para gurunya masih belum ada yang tinggal di desa ini, hampir semuanya pulang pergi untuk mengajar, bangunan sekolah ini berada diatas bukit, jenis bangunan adalah semi permanen
 Pulang dari kegiatan posyandu, kembali hamparan hijau bukit – bukit menjadi bagian kami, karena panikin berada di atas bukit, otomatis pulang kita tidak bakalan menemui jalan – jalan yang menanjak lagi, jalan – jalan akan cenderung menurun.kami pun mesti hati hati mengendarai kendaraan, saat menuruni bukit jalan jalan ini akan terasa lebih licin.....namun ada kepuasan terbersit......hari ini kami sudah melakukan sesuatu yang berarti.

salah satu peliharaan penduduk


Senin, 29 Agustus 2011

Jamban Sehat yang Terbentur Budaya

Penulis di depan balai adat kambiyain,dayak pitap
catatan ini bukan berdasarkan hasil survey menyeluruh, ini hanya kusimpulkan dari hasil tanya jawab dengan kader pamsimas desa kambiyain


Dari postingan diinternet tanggal 16 Januari 2010, dikatakan bahwa pada tahun 2014 Pemerintah akan melarang masyarakat membuang tinja (buang air besar/BAB) ke tempat-tempat terbuka, seperti di kali, kebun maupun persawahan. Pasalnya, limbah tinja yang dibuang sembarang akan menggangu kesehatan dan sistem sanitasi penduduk……aku tersenyum sendiri, apa pemerintah baru sadar kalau BAB sembarang akan bisa mengganggu kesehatan dan sistem sanitasi penduduk??, pasti tidaklah…..pemerintah pastilah sangat sadar, lagian yang duduk disana orang pintar semua. Cuma mungkin saja pemerintah masih ulbelum punya waktu untuk ngurusin masalah per’BAB’an masyarakatnya.
Jadi paling tidak sampai tahun 2014, para warga di wilayah kerja puskesmas tebing tinggi masih mempunyai kesempatan untuk membuang hajatnya disepanjang sungai yang membentengi di belakang rumah – rumah mereka. Tak bisa di pungkiri memang ini lah salah satu kebudayaan bagi bangsa kita yang tinggal di pinggiran sungai atau kali. Kami dari puskesmas memang sudah sering melakukan penyuluhan – penyuluhan, baik secara penyampaian langsung, tak langsung seperti menyebarkan aneka poster atau pamplet – pamplet kesehatan, bahkan dengan sistem pemicuan masyarakat, dengan harapan setelah di lakukan pemicuan akan menimbulkan perasaan malu, sehinggga tidak ada keinginan untuk mengulanginya lagi.namun kebiasaan ini masih tetap terulang dan berulang, bicara tentang kebiasaan…..semua kegiatan tepi sungai ini adalah kebiasaan turun temurun, yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Kultur masyarakat suku banjar dan dayak, secara turun temurun bermukim di sepanjang daerah aliran sungai, Sungai merupakan urat nadi kehidupan dan perekonomian masyarakat. Air sungai dimanfaatkan untuk keperluan hidup sehari-hari, minum, memasak, mencuci dan kakus,……sungai adalah sumber penghidupan.
Ada sisi menarik yang aku dan sanitarian Puskesmas Tebing Tinggi temui pada saat mempromosikan jamban keluarga ke anak desa Dayak pitap, Kambiyain. Kami berangkat kedesa ini dengan 2 orang Team Pamsimas. Pertemuan diadakan di Balai Adat Kambiyain, dalam pertemuan ini di hadiri oleh para tetuha adat dan kader – kader kesehatan.
Warga desa ini didiami oleh warga dengan kesukuan Dayak, yaitu dayak pitap. Untuk mencapai desa ini hanya bisa dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan jalan kaki dengan jarak dari kecamatan tebing tinggi ± 7 KM, atau dengan menggunakan kendaraan Roda 2, karena jalan – jalan disini masihlah berupa jalan tanah tanpa pengerasan, sehingga apabila musim penghujan, jalan – jalan ini akan berupa kubangan lumpur berwarna kemerahan. Mereka membangun pemukiman persis didepan sungai kambiyain. Melihat keadaan sungai kambiyain akan sangat berbeda dengan sungai – sungai yang biasa kita jumpai di kota – kota, sungai disini masihlah sungai perawan, sungai dengan aliran deras tak terlalu dalam, jernih membelah bebatuan berwarna putih, bahkan karena begitu jernihnya sehingga kita dapat melihat dasar dari sungai kambiyain ini. Bagi aku pemandangan seperti ini amatlah jarang kudapatkan, suara aliran sungai dan hembusan angin membuatku betah berlama – lama ditempat ini. Namun sayangnya, seperti halnya masyarakat yang mendiami daerah aliran sungai, budaya pinggiran sungai pun berlaku di tempat ini, segala kegiatan harian bermula dan berakhir ditempat ini, bermula seperti mandi, cuci, sumber air minum dsb, dan pada bagian akhirnya membuang segalanya pun berakhir ditempat ini pula.
Dalam pertemuan dengan para tetuha adat ini kami mencoba mempromosikan tentang jamban sehat, sesuatu yang mungkin kedengarannya basi bagi sebagian orang, namun bagi penduduk yang berdiam di desa kambiyain masalah jamban sehat mungkin kedengaran seperti hal yang sering terdengar namun sulit untuk dilaksanakan, budaya pinggir sungai sudah mendarah daging di tempat ini……untuk merubah sesuatu yang telah mendarah daging tidaklah semudah membalikkan telapak tangan,meski team pamsimas bersedia untuk membantu pendanaan untuk pembangunan jamban sehat umum, namun masih banyak masyarakat yang masih belum siap untuk menggunakannya, kami sempat bingung kenapa…..telisik punya telisik ternyata ada keyakinan yang meyakini kalau BAB dengan model seperti ini tabu dan akan menjadikan hal – hal yang tidak baik. Mereka tidak ingin membuang hajat dalam satu tempat, mereka meyakini apabila hasil hajat mereka di buang dalam satu tempat ini akan menjadikan orang tersebut akan menemukan kesialan, akan menjadikan mereka selalu dalam sifat ‘panasan’……..benar – benar sebuah dilemma bagi kami semua, ternyata bukanlah hanya masalah keuangan yang menjadikan jamban sehat kurang begitu populer, kenyataan yang kami temui kini, jamban sehat haruslah  berbenturan dengan budaya.
Alam telah lebih dulu mengajarkan kepada mereka, kiranya hanya waktukah yang kan menjawab ini semua?? Kami termangu di kala itu, apakah ini sebuah kebenaran, ataukah ini hanyalah sebuah paksaan terhadap sebuah kebenaran.

Rabu, 24 Agustus 2011

oleh - oleh Pusling Iyam Desa Dayak Pitap

Penulis dengan balian iyam desa dayak pitap ,bp.waau
Mengunjungi desa Iyam yang merupakan salah satu anak desa Dayak Pitap di kecamatan tebing tinggi, Kabupaten Balangan, desa ini memang termasuk desa yang terpencil, desa ini terletak di kaki gunung hantanung, perjalanan ke desa iyam merupakan hal yang biasa bagi kami yang kebetulan bekerja di puskesmas tebing tinggi, kunjungan demi kunjungan yang kami lakukan kesana memang lah bagian dari rutinitas Kerja, yaitu kegiatan puskesmas  keliling yang rutin kami laksanakan setiap bulannya, biasanya kunjungan ini kami laksanakan diawal bulan, di minggu pertama pada hari rabu, hari rabu dipilh karena pada hari rabu ini merupakan hari pasar bagi anak desa dayak pitap ini, pasar iyam. Para warga desa pada hari ini akan turun dan memadati pasar kaget ini…..mereka kebanyakan mendatangi pasar ini dengan berjalan kaki, aneka kebutuhan yang di perlukan oleh masyarakat bisa di dapatkan di pasar ini,dalam hal transaksi kabarnya kadang praktek barter barang bisa terjadi. Dan sialnya selama kami melakukan kunjungan ke desa ini belum pernah melihat langsung bagaimana suasana pasar kaget ini, menurut cerita warga desa yang kami temui, pasar dadakan ini mulai buka pagi – pagi sekali, dan tutup pada kurang lebih  pukul 09:00 wita, sedang kami baru bisa sampai ke desa ini pada pukul 10:00 wita, kadang lantaran kesibukan kami di puskesmas pernah kami sampai ke desa ini pukul 11:30 wita, sehingga kami tak pernah merasakan seperti apa dan bagaimana kemeriahan pasar dadakan ini, mau ngga mau mereka yang ingin berobat atau mau memeriksakan kesehatannya kepada kami mesti menunggu dengan sabar kedatangan kami sehabis berbelanja di pasar.

Puskesmas keliling yang kami maksud tadi menurut Drs. Nasrul Effendy dalam bukunya ‘dasar – dasar keperawatan kesehatan masyarakat, edisi 2’  merupakan unit pelayanan kesehatan keliling yang dilengkapi dengan kendaraan bermotor roda 4 atau perahu bermotor yang di lengkapi peralatan kesehatan, peralatan komunikasi serta sejumlah tenaga yang berasal dari puskesmas, secara fungsinya puskesmas keliling merupakan penunjang dan membantu melaksanakan kegiatan – kegiatan puskesmas dalam wilayah kerjanya yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan.
 Dalam catatan ku waktu kuliah dulu dikatakan bahwa kegiatan – kegiatan puskesmas keliling    ( Pusling )adalah :
1.     Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh pelayanan puskesmas atau puskesmas pembantu, 4 hari dalam 1 minggu
2.    Melakukan penyelidikan tentang kejadian luar biasa
3.    Dapat di pergunakan sebagai alat transportasi penderita dalam rangka rujukan bagi kasus gawat darurat
4.    Melakukan penyuluhan kesehatan dengan menggunakan alat audio visual

Ini semua merupakan sebagian kecil teori dasar yang di ajarkan kepada kami dalam pelaksanaan kegiatan di puskesmas, namun pada kenyataannya kami mesti pandai – pandai menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan, pada intinya kami bisa menyampaikan tujuan, maksud dan apapun itu yang ingin di capai dari puskesmas keliling ini.
Menurut pengertian diatas dikatakan ‘merupakan unit pelayanan kesehatan keliling yang dilengkapi dengan kendaraan bermotor roda 4 atau perahu bermotor dan peralatan kesehatan’ sedang untuk mencapai desa ini memang bisa dengan kendaraan roda 4, namun karena medan ke desa ini cukup berat, ada daerah menanjak dan jalan yang  masih belum dilakuakan pengerasan dengan baik, sehingga masih banyak batu batu jalanan yang tak rata, menonjol tak beraturan disana – sini , dengan keadaan seperti ini otomatis apabila kita harus dengan kendaraan roda 4, harus lah mempunyai drifer yang benar benar handal, dan berani, sedang kami di puskesmas belum ada sopir yang dapat diandalkan untuk medan- medan yang seperti ini, kebetulan lagi mobil puling yang juga merupakan mobil ambulance puskesmas tebing tinggi yang diberikan oleh depertemen kesehatan RI tidak berjenis 4WD,  sehingga kurang pas, kurang cocok untuk wilayah kerja puskesmas yang cenderung berbukit bukit ini.
Untuk menyiasati keadaan ini kami melakukan pusling dengan menggunakan kendaraan bermotor roda 2, team pusling kami di puskesmas terdiri dari berbagai profesi dalam dunia kesehatan diantaranya Dokter, Dokter Gigi ( saat ini di puskesmas tebing tinggi belum terdapat Dokter Gigi ),Paramedis, perawat Gigi, Juru Imunisasi, petugas Surveilans, petugas kesehatan lingkungan/ Sanitarian,petugas Gizi/ nutrisionis,Bidan,Asisten Apoteker ( dalam sejarahnya puskesmas tebing tinggi belum pernah mempunyai Apoteker ),dan Analis kesehatan / pekerja laboratorium kesehatan, namun pada kenyataannya kadang kami melaksanakan kegiatan pusling ini hanya dengan 2 buah kendaraan roda 2 sebanyak 4 orang petugas ,karena petugas yang lain lagi di sibukkan dengan tanggung jawab utama mereka di puskesmas, dengan kendaraan roda 2 kami  berboncengan sambil memanggul tas ransel besar berisi obat – obatan dan termos untuk menyimpan vaksin imunisasi.  

Jalan menuju kedesa iyam hanya bisa ditempuh lewat pertigaan desa gunung batu, kabarnya untuk sampai ke desa ini juga bisa melewati jalan yang lain, Cuma jalan ini hanyalah berupa jalan tikus yang hanya diketahui oleh warga desa dayak pitap, atau warga dayak lainnya,atau oleh mereka para penebang pohon yang biasa menyisir wilayah adat dayak pitap ini.jalan – jalan yang biasa kami kewati ini jangan samakan dengan jalan – jalan yang biasa di kota kota…..jalan ini jauh sekali dari kesan – kesan kenyamanan berkendaraan…….teramat jauh kiranya, jalan ini merupakan jalan tanah berwarna merah khas daerah pegununungan yang lantaran begitu seringnya dilewati menjadi alur alur jalan, memang ada usaha pengerasan yang dilakukan oleh masyarakat dan di bantu oleh pemerintah daerah, namun apalah artinya……jalan jalan ini tak akan bertahan dengan lama, pada musim penghujan jalanan ini akan menjadi lunak, kubangan lumpur dimana – mana……untuk berkunjung ke desa mamang lebih nyaman di lakukan pada musim panas, karena pada musim itu tanah menjadi lebih padat,meskipun tak bisa tidak, debu - Debu jalananan akan menjadi bagian dari perjalanan ini, namun tak bisa di pungkiri perjalanan ke desa iyam akan memberikan kesan tersendiri bagi kami, udara pegunungan yang segar, sisi kiri kanan jalan serasa memanjakan kami akan keindahan panorama alam yang tak bisa terlukis dengan kata – kata,deretan pohon karet merupakan hal lumrah disini, rimbun tanaman paku, atau   bambu di kiri kanan jalan yang membentuk gapura selamat datang karena rimbunnya,atau melihat hamparan ilalang hijau yang menyeruakan indah hijau kaki pegunungan, untuk menikmati ini semua  kami mesti menghentikan laju kendaraan untuk melepas lelah sambil menikmati, merenungi mengagumi segala indah ini, ketenangan ini, ketentraman ini dan semuanya, kadang di tepi jalan kami juga menemukan aliran sungai yang batu – batu gunungnya bersembulan, suara aliran sungai, kejernihan aliran sungai yang mungkin tak pernah mereka sadari akan keindahan ini, suatu melodi alam yang tak pernah kami tirukan namun hanya bisa kami rasa dalam nikmat alam ini.
Jarak dari puskesmas tebing tinggi ke desa iyam ini kurang lebih 10 kilometer,namun karena medan jalan yang belum terlalu bersahabat, kami harus menempuhnya kurang lebih 45 menit.

Desa iyam yang merupakan anak desa dari dayak pitap ini memiliki 3 sub anak desa lagi yaitu bangunan, bayuan dan rantau paku. Entah apa arti dan maksud dari penamaan - penamaan ini, kami tidak sempat menanyakan hal ini……sub desa bangunan adalah sub desa pertama yang kami temui, meskipun ini yang pertama, namun kami menempatkan sub desa ini sebagai sub desa terakhir yang kami singgahi dalam setiap pusling ke daerah iyam, penyebaran agama Kristen sudah sampai disini, namun itupun belum begitu berkembang, hanya disekitar gereja yang memeluknya, sedang yang bertempat tinggal agak jauh dari gereja masih mempertahankan kepercayaan adat leluhur yang di sebut kaharingan dan dijadikan sebagai agama bagi mereka, disini pun ada Polindes ( Pondok bersalin desa ) yang dibangun secara permanen, meski tak ada bidan desa yang menempati dan bahkan kunjungan bidan desa secara khusus, paling paling pas pelaksaan pusling lah bidan desa datang berkunjung, itupaun bukan bidan desa yang memang di tempatkan di sini. Puskesmas tebing tinggi memang sangat kekurangan sekali bidan kesehatan, saat ini di puskesmas hanya memiliki 2 bidan,yaitu 1 orang bidan coordinator dan 1 bidan desa yang ditempatkan di desa Auh, entah dengan penerimaan CPNS tahun ini apakah akan ada penambahan tenaga bidan, dari desas desus yang kami dengar, rata rata para bidan kurang begitu tertarik mengikuti test CPNS di kabupaten balangan karena ada anggapan semua bidan yang lulus di kabupaten ini akan di tempatkan di desa – desa terpencil, apalagi sekarang ini para pelamar CPNS sudah tahu seandainya lulus akan ditempatkan di mana, di beritahukan daerah mana saja di kabupaten balangan ini yang memang memerlukan bidan desa atau tenaga CPNS lainnya,dan disaran kan menentukan daerah yang akan ditempatinya, artinya sebegitu mereka lulus seleksi, mereka akan di tempatkan sesuai dengan daerah yang dipilihnya. Di sub desa ini sarana pendidikan Cuma ada 2 SD denagan perincian 1 SD induk yaitu SDN Dayak pitap dan 1 SD kecil,SD Rantau Paku di ujung anak desa, Rantau paku, jadi para siswa SD kelas 1 s/d 3 bisa menempuh pendidikannya tingkat dasar di SD induk  ( SDN Dayak pitap ) atau di SD Rantau Paku, sedang untuk kelas 4 s/d kelas 6 hanya bisa dilakukan di SD induk, SDN Dayak pitap. Entah seperti apa para dewan guru nya mengatur jadwal mengajarnya.
Sub anak desa ke 2 di iyam ini adalah bayuan, disini nampaknya tak terlalu banyak rumah penduduk yang tampak, namun menurut kepala RT II dayak pitap yang kebetulan memang bertempat tinggal di bayuan mengatakan bahwa sebenarnya sebagian penduduknya membuat rumah di dekat kebun mereka di belakang perkampungan bayuan ini, jadi makanya rumah penduduk yang ada di pinggiran jalan ini tampak sangat sedikit, dan disini pun terdapat balai adatnya bagi mereka sub desa bayuan dan sebagian warga sub desa bangunan yang tidak memeluk agama Kristen,karena di sub desa bangunan memang tidak terdapat balai adat.
Sub desa paling ujung dari anak desa dayak pitap iyam ini adalah Rantau paku, di sub anak desa ini terdapat pasar kaget yang rutin dihari rabu, SD  kecil rantau paku, dan balai adat, bicara tentang balai adat, jangan di bayangkan laksana bangunan permanen, untuk bakai adat di dayak pitap hanya di desa ajung yang tampak lebih baik, di iyam balai adat berupa bangunan kayu yang Nampak nya tidak di buat dengan kayu pilihan, balai adat ini apabila dilihat dari luar Nampak seperti rumah penduduk pada umumnya, tidak ada papan penunjuk atau plang nama bangunan  yang menjelaskan bahwa ini adalah balai adat, hanya ukurannya saja yang Nampak lebih besar di bandingkan rumah – rumah penduduk lainnya, dinding bangunan yang dari kayu di pakukan ke bilah – bilah penyangga bangunan menggunakan paku dengan model dalam istilah banjar susun sirih, pada bagian luar Nampak poster kandidat calon bupati balangan untuk tahun 2010 – 2015, dibalai adat inilah posko pusling iyam kami, untuk masuk kedalam balai bisa lewat pintu samping dan lewat depan, lantai pelataran depan terdiri dari susunan batang bambu, sedang lantai pelataran samping terdiri dari kayu papan meski memang bukan dari kayu pilihan, entah apakah ini ada maksud tersendiri atau mungkin lantaran memang kekurangan dana? Entahlah……untuk memasuki ruangan balai kita wajib melepaskan alas kaki, bentuk ruangannya persegi panjang, saat memasuki terasa pengap, sepertinya bangunan ini jarang dibuka oleh penghuninya,balai adat suku dayak pitap biasanya di huni oleh pengurus balai sekaligus balian Desa, dan balai adat ini sepertinya memang di peruntukkan bagi balian beserta keluarganya. dalam kehidupan dayak memang tak bisa lepas dari peran seorang balian, balian ini biasanya berperan sebagai pengelola balai, Dukun desa, penghulu, dan pemimpin spiritual.
yang namanya balai pastilah tidak ada kamar – kamarnya, demikian pula dengan balai adat dayak pitap rantau paku, desa iyam ini, untuk memasak bagi balian dan keluarganya ada di bagian belakang balai, berlantai bambu, untuk memasak masih menggunakan tungku kayu bakar,penerangan bersumber dari listrik tenaga surya hasil bantuan dari pemerintah kabupaten balangan, yang menurut balian hanya bisa bertahan selama kurang lebih 6 jam, namun itupun tergantung beban pemakaiannya, sebagai penerangan dengan 1 buah lampu sejenis lampu TL 10 watts mampu bertahan selama itu, namun apabila di beri tambahan 1 lampu sejenis lagi, paling hanya mampu menerangi separuh waktunya saja, sisa nya terpaksa menggunakan lampu templok.
Bangunan ini tak tampak ada perabotan layaknya rumah berpenghuni, dan sepertinya para penghuninya benar – benar apa adanya, tak ada yang istemewa, untuk tidur dan istirahat balian dan keluarganya tidur di pinggir ruangan dengan baralas tilam kapuk yang bisa digulung dan di pindahkan kemana mana, untuk menghindari gigitan nyamuk mereka tidur menggunakan kelambu, yang di jejer dari kiri kekanan pinggir – pinggir ruangan balai adat. yang cukup menarik bagi kami adalah pada  dinding balai adat bagian dalamnya penuh dengan tempelan poster – poster para artis india dan Indonesia ini terdapat juga poster ayat – ayat suci Al Qur’an, kami berpikir mungkin mereka menyenangi kaligrafi Al Qur’an yang indah ini dan bukan lantaran maksud – maksud lainnya,…. sama halnya mungkin dengan kita yang merasa gagah, PD saat mengenakan baju kaos oblong bertuliskan hurup kanji cina atau jepang namun kita sendiri kadang tak tahu sama sekali apa arti tulisan atau makna tulisan tersebut.
Fungsi balai adat tidak hanya sebagai tempat melaksanakan upacara adat, juga di gunakan sebagai tempat upacara perkawinan, penyembuhan penyakit oleh balian dan tempat berkumpul bermusyawarah dan sebagainya yang bersifat kemasyarakatan.
susungkulan
Pada bagian tengah ruangan balai adat tedapat susungkulan dan sangkar batang, susungkulan adalah bale bale besar berukuran kurang lebih 2 x 3 meter persegi dengan tinggi kurang lebih 3,5 meter, susungkulan biasanya terbuat dari 4 buah tongkat kayu, atau bambu,persis seperti bale bale tempat lesehan hanya susungkulan lebih tinggi, pada upacara adat, seperti upacara syukuran sehabis panen,pesta perkawinan susungkulan ini akan di beri hiasan hiasan dari janur kuning kelapa,segala sesajian ditempatkan dalam keranjang yang diikatkan ke tiang susungkulan atau pada lantai susungkulan bagian atas, para balian akan menari dengan menghentak hentakkan kaki mengelilingi susungkulan tanpa henti, seorang balian selain harus mengetahui tentang adat istadat dan mantra – mantra juga harus memiliki fisik yang kuat,karena selama upacara adat,balian akan terus Batandik (menari sambil menghentak kaki)  tanpa istirahat selama upacara dilangsungkan,siang dan malam, dalam uapacara adat ini kabarnya balian ini selain karena memang memiliki fisik yang kuat, mereka mampu Batandik tanpa henti kabarnya mereka kuat dan mampu melakui karena memang kerasukan arwah roh nenek moyang yang mereka panggil,upacara adat ini selain wujud rasa syukur juga merupakan media penghubung antara alam kita dengan dunia para leluhur. Hiasan susungkulan dari janur kelapa ini akan dibiarkan layu dan mengering pada tempatnya dan hanya boleh diganti apabila akan dilaksanakan upacara adat  selanjutnya atau acara – acara adat lainnya.
sangkar batang
pada gambar disamping dinamakan sangkar  batang, sangkar batang ini terbuat dari sebatang bambu besar yang pada bagian atas dibelah empat sehingga menyerupai sangkar, isi dari sangkar adalah bakul kecil dari anyaman rotan atau bambu  sangkar batang ini di gunakan sebagai media berhubungan dengan roh para leluhur untuk meminta pertolongan penyembuhan dari penyakit yaitu  penyakit – penyakit yang sudah di kategorikan gawat yang sudah tidak bisa lagi dapat diatasi oleh tenaga kesehatan atau sudah sekarat, metode pengobatan ini di kenal oleh masyarakat dengan sebutan babalian, untuk babalian biasanya dilaksanakan selama 4 hari secara terus menerus siang dan malam, acara babalian ini dipimpin oleh balian yang di bantu oleh beberapa pembantu yang merupakan balian dibalai – balai adat dayak pitap lainnya membantu pelaksanaan acara babalian, hari pelaksanaan hanya bisa dilaksanakan pada hari senin sampai dengan kamis, acara di mulai sejak senin sore dan selesai pada kamis malam, syarat yang harus di sediakan oleh orang yang ingin di babalian mesti menyediakan sedikitnya 2 ekor kambing, semakin parah penyakit yang di deritanya smakin banyak  jumlah kambing harus disediakan, menurut balian desa iyam syarat sedikitnya 2 ekor kambing ini tidak bisa di gantikan dengan hewan ternak lainnya, termasuk babi, bahkan menurut beliau lagi apabila ternak yang digunakan adalah babi, para roh leluhur tidak mau datang karena babi dianggap kotor, padahal babi termasuk hewan yang biasa di konsumsi oleh warga desa dayak pitap.
layar balai adat bayuan iyam, dayak pitap
Pada pelataran depan balai adat terdapat tiang dari bamboo yang menyerupai antene telivisi, oleh warga dayak pitap dinamakan layar, mengenai tinggi tiang tidak ada ukuran yang pasti yang penting harus lebih tinggi dari atap – atap rumah,atau ada penjelasan harus dengan menggunakan kayu apa tiang ini terbuat, pemilihan bambu sebagai tiang karena tanaman bambu mudah di dapat dan lumayan panjang serta lurus, pada bagian atas yang seperti antene telivisi ini digantungi dengan kayu yang membentuk segi tiga sama sisi dan mengarah ke 4 arah mata angin, ini merupakan alat untuk mengantarkan sinyal atau tanda untuk menghantarkan berita ke dunia para leluhur bahwa di dalam balai adat sedang diadakan upacara pemanggilan arwah atau roh para leluhur, kemungkinan berbentuk segitiga sama sisi ini berhubungan dengan hikayat dayak yang menyatakan bahwa apabila mereka meninggal akan berada pada burung enggang, sehingga apabila mereka datang memerlukan tempat untuk hinggap, kemudian lagi lewat jalan inilah para arwah atau roh para leluhur akan kembali lagi ke alam nya lagi.
Gambaran seorang balian dalam suku dayak pitap tidak tampak nyata, tidak ada ciri khusus yang menampakkan bahwa ia adalah seorang balian, seperti pakaian khusus atau atribut – atribut yang mesti disandang atau disematkan, bahkan menurut bapak kepala adat tidak ada pakaian adat yang menandakan bahwa ia adalah warga suku dayak pitap. Sekarang, para balian terlihat lebih modern karena boleh menggunakan pakaian modern.
semangat dari pedalaman......siswa SDN Rantau Paku di balai adat