Jumat, 09 September 2011

Puskesmas Tebing Tinggi, meski tak dapat ISO seperti Puskesmas Paringin, dapat cempedak tak apalah......


Bicara tentang cempedak atau kami biasa menyebutnya tiwadak, adalah buah yang tidak asing bagi kami di pahuluan, buah ini adalah buah musiman, artinya tidak setiap saat kami bisa merasakan buah yang satu ini. untuk wilayah Hulu Sungai, buah ini biasanya di drop dari Kebun – kebun di daerah kabupaten Balangan dan kabupaten Tabalong.Buah ini kerap di jumpai di saat awal awal musim penghujan, selain dipasar – pasar tradisional buah ini kerap juga di tawarkan oleh para penjual di sepanjang jalan provinsi di kecamatan batu mandi sampai perbatasan antara kabupaten Balangan dan kabupaten Tabalong, juga dipinggir – pinggir jalan kecil di kecamatan Tebing Tinggi Awayan dan Kecamatan Tebing Tinggi
Dari Ibu Dra.Siti Sarniah ( Acil Niah ) yang merupakan seorang guru mata ajar Biologi di SMUN I Barabai, beliau menjelaskan bahwa Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara, dan menyebar luas mulai dari wilayah Tenasserim di Burma, Semenanjung Malaya termasuk Thailand, dan sebagian Kepulauan Nusantara: Sumatra, kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga ke Papua. Juga banyak didapati di Jawa ba gian barat. Buah ini dikenal secara luas denganbeberapa nama lokal seperti bangkong (bentuk liar, Malaysia), baroh (Kep. Lingga dan Johor), nangka beurit (Sunda), nongko cino (Jawa), tiwadak (Banjar) dan lain-lain, kata beliau lagi Klasifikasi ilmiahnya adalah bahwa buah ini masuk dalam kerajaan Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Urticales, Famili Moraceae, Genus Artocarpus, dan dari Species A. champeden, nama biomalnya adalah Artocarpus champeden
Spreng.
Bentuk buah, rasa dan keharumannya seperti nangka,hanya saja buah tiwadak atau cempedak ini lebih kecil, lebih lonjong dan kadang lebih panjang dari buah nangka, meski aromanya kerap kali menusuk kuat mirip buah durian.
pohon cempedak
Secara alami, cempedak liar banyak dijumpai di hutan hujan dataran rendah, baik hutan primer maupun sekunder. Tumbuh hingga ketinggian sekitar 1000 m dari permukaan laut, pohon buah ini menyukai daerah-daerah dengan musim kering yang tidak tegas, lahan dengan permukaan air tanah yang dangkal, dan bahkan tahan sesekali tergenang banjir.  Menurut Abah Agus atau Bapak Adul yang pernah menjadi Bos kayu, dan pemilik bangsaw ( Tempat pengolahan kayu ) di Desa Sungsum Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Balangan,Kayu pohon tiwadak termasuk kayu yang  berkualitas baik, kuat dan awet, sehingga kerap digunakan sebagai kayu bangunan, bahan perabotan rumah, atau bahan perahu. Kulit kayunya yang berserat dapat digunakan sebagai bahan tali, dan getahnya untuk mamulut ( menjerat )burung. Dari kayunya juga dapat dihasilkan bahan pewarna kuning. Menurut beliau lagi bentuk tiwadak kalau di gambarkan Pohonnya  selalu hijau, sedang besarnya, tingginya dapat mencapai 20 meter meski kebanyakan hanya belasan meter. Ranting-ranting dan pucuk dengan rambut halus dan kaku, kecoklatan.
Mandai atau dami asinan dari kulit cempedak
Di wilayah Kecamatan Tebing Tinggi dan bahkan di wilayah Kalimantan Selatan, cempedak yang dalam bahasa Banjarnya tiwadak ini, hampir semua bagian dari buahnya dapat dikunsomsi, daging buah yang berwarna kuning ini bisa dikonsumsi secara langsung atau diolah dengan campuran tepung , kemudian di goreng, apabila diolah dengan di goreng ini dikenal sebagai Guguduh tiwadak, sedang tiwadak anum ( cempedak muda ) biasanya dibakar ditambahkan larutan santan kelapa yang di namakan parung tiwadak,dijadikan sayur makan.bijinya bisa direbus kemudian setelah matang dimakan dengan parutan kelapa dan taburan garam di kenal dengan biji tiwadak bajarang, menurut unya (bibi/acil/ paman bungsu ) bini, ada tehnik tersendiri dalam menikmati biji tiwadak bajarang ini yaitu harus dengan mandai atau dami goreng, tujuannya adalah agar hasil kunyahan biji tiwadak tidak menempel pada bagian belakang gigi.kemudia kulit biji tiwadak pun dapat diolah, yaitu pertama – tama sebelum diolah, terlebih dahulu kulitnya  dikupas bagian luarnnya sampai putih, termasuk tangkung (tempat menempel daging buah tiwadak menempel )kemudian direndam dalam air matang yang di beri garam,tujuan  direndam dengan air garam adalah untuk mengawetkan dan melunakkan teksturnya. Rendaman dapat dilakukan selama beberapa jam bahkan hingga sebulan setelah beberapa hari kemudian dapat diolah menjadi makanan yang dinamakan mandai atau ada juga yang menyebutnya dami. Mandai atau dami ini dikonsumsi dengan cara menggorengnya hingga kecoklatan, di jadikan lauk atau lalapan makan, ada juga dimasak santan dengan iwak ( ikan ) talang ( cakalang ) kering, atau iwak papuyu anak….pada kesempatan yang yang lain kami mencoba menanyakan kepada Firmansyah salah seorang karyawan honorer di kantor kecamatan Tebing tinggi, yang merupakan putra daerah asal desa sungsum tentang adakah pemanfaatan kulit tiwadaknya, dengan enteng dia menyebutkan bahwa kulit tiwadak bisa juga di gunakan untuk menggaruk punggung yang gatal, sambil berlalu dari hadapanku yang kebingungan,sambil menjanjikan nanti akan memberitahukan caranya menggunakan kulit tiwadak ini…….setelah beberapa menit kemudian baru tersenyum, Kemudian tertawa, ternyata untuk yang satu ini aku benar – benar telah dikerjainya
mandai/dami yang telah diiris dan siap untuk diolah
2 hari setelah itu seusai magrib pintu rumah dinas petugas kesehatan yang ku tempati, di ketuk, setelah kubuka ternyata Firman datang berkunjung kerumah dengan membawa bungkusan plastik berisi buah tiwadak, dan malam itupun jadilah pesta tiwadak, namun untuk tawarannya untuk mempraktekkan cara menggaruk punggung yang gatal menggunakan kulit tiwadak, dengan tegas kupastikan tidaaaaaak.......dan sekali lagi meski tulisan ini tak ada hubungannya dengan judul tak apalah......ini hanyalah bagian dariku dalam mengartikan kebebasan berbicara dalam blog ini, namun dalam hati dengan tulus mengucapkan selamat kepada puskesmas Paringin yang telah ditunjuk menjadi Puskesmas dengan ISO 9001:2008 nya, sedang bagi kami di Puskesmas Tebing Tinggi cukuplah membicarakan masalah cempedak aja dulu....hmmmmm

Kamis, 08 September 2011

Mengunjungi Bukit sion

panorama bukit sion

Jangan di artikan dari judul di atas bahwa kami benar – benar  mengunjungi Dataran tinggi disebelah barat yuresalaem yang kini disebut Bukit Sion itu. Bukit sion yang kami kunjungi ini adalah nama posyandu di Desa Panikin, Desa Panikin ini merupakan nama anak desa Mayanau di kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Balangan, ternyata untuk ke Tebing Tinggi tidak harus jauh – jauh ke Pulau Sumatera, di Kalimantan selatan juga ada.
Sejarahnya Dataran tinggi disebelah barat juresalaem yang  kini disebut Bukit Sion. Namun aslinya nama itu milik benteng Orang – orang Yebus. Setelah benteng itu di rebut oleh raja Daud, ia menamakannya kota Daud, sebagaimana tercatat dalam kitab ke II Samuel, daud berhasil merebut Benteng  Sion dan mendudukinya. Ia menamakannya Kota Daud. Makam Raja Daud terletak di Bukit Sion yang merupakan ayah dari Salomo. Kota itu di bangunnya di sekeliling benteng itu, mulai dari sebelah timur bukit ( 2 sam 5:9 ). Setelah tabut perjanjian di pindahkan ke bukit dimana kemudian di dirikan bait suci, bukit itulah mulai di sebut sion atau bukit Sion. Di jaman Herodes muncul keyakinan bahwa Daud mendirikan bagian barat kota yuresalem. Keyakinan itu di lestarikan dalam nama menara Daud. Setelah Jerusalem dihancurkan oleh Roma, umat Kristen mulai tinggal di bukit bagian barat, sekitar gereja senakel . maka bukit dimana terletak senakel di samakan dengan Bukit sion yang dikenal dalam alkitab. Sejak itu nama tersebut di pakai secara resmi. Namun Bukit sion yang dikenal dari perjanjian lama sesungguhnya tidak sama dengan bukit sion menurut umat Kristen.
Desa ini memang terpisah jauh kurang lebih 7 KM jaraknya dengan Desa induknya, Mayanau, untuk mencapai anak desa ini meski melewati desa simpang nadong kecamatan tebing tinggi, dari Puskesmas tebing tinggi, yang berada tepat di desa simpang nadong nomor 1 berjarak kurang lebih 4 KM, sebelum tahun 2010 untuk mencapai panikin meski melewati jalan – jalan tanjakan yang cukup menantang,jalan – jalan setapak mendaki yang licin dengan jalan berwarna kemerahan khas tanah pegunungan, kadang – kadang kita mesti melewati kubangan lumpur apabila mengunjunginya di saat musim penghujan. anak desa ini tepatnya memang berada diatas perbukitan.
jalan menuju desa panikin
Pada saat sekarang jalan – jalan setapak tersebut sudah tidak ada lagi, sejak awal tahun 2010 jalan jalan setapak yang biasa kami lewati dalam kegiatan Pusling dan posyandu ke panikin, Bukit Sion kami anggap di delete, sekarang jalan tersebut telah di perlebar, dengan lebar kurang lebih 1 meter, jalannya sudah di padatkan meski memang tidaklah sepadat jalan aspal hot mix,  dengan batu kali plus kerikil boleh lah kita katakan sebagai jalan……namun jangan dianggap tantangannya telah hilang, untuk mencapai bukit sion di panikin ini tetap di perlukan usaha ekstra hati – hati, terutama di musim penghujan, karena pada saat ini jalan – jalan di sana akan terasa lembek dan sedikit agak licin, tidak jarang pada saat kita mendaki dan menuruni jalan yang berbukit tak rata ini terdapat kubangan air.
Meski untuk mencapai panikin, bukit Sion sekarang ini bisa dengan menggunakan kendaraan roda 4, kami lebih senang menggunakan sepeda motor, rombongan biasanya terdiri dari 1 juru imunisasi, 1 Bidan, 1 Petugas Gizi, 1 perawat, dan 1 orang Dokter, dengan jumlah seperti ini kami menggunakan 3 atau 4 buah kendaraan, dan kami gunakan secara berboncengan.
Tidak ada perlengkapan khusus yang kami gunakan dalam kunjungan – kunjungan ini, semua serba standar saja, helm safety, dan yang jelas sepasang Boot karet……pusling dan posyandu ini pun kami selesaikan dalam 1 hari, bolak balik kepuskesmas + kegiatan paling selama 4 jam, namun dalam perjalanan singkat ini merupakan saat bagi kami memanjakan alam perasaan kami, udara sejuk khas pegunungan menjadi bagian kami,bebas polusi,……. padang ilalang yang menghijau, melewati perkebunan karet, back ground bukit bukit menghijau, kadang terpikir oleh ku sebegitu dekat kaki langit denganku, ingin rasanya mendekati gumpalan – gumpalan awan putih itu, berselancar di bukit – bukit yang hijau…..begitu sempurna tuhan mencipta.
gereja panikin
Panikin yang merupakan anak desa mayanau ini dihuni oleh kurang lebih 25 KK, warganya bersuku dayak, yaitu suku rumpun dayak bukit, namun berbeda dengan daerah yang di huni oleh suku dayak, daerah ini tidak terdapat balai adat sebagai tempat ritual keagamaan,sebagai gantinya disini terdapat gereja, para misionaris krisren telah datang sejak kurang lebih 20 tahun yang lalu, bangunan gereja Nampak sederhana, hanya di bangun dari kayu, itupun bukan dari kayu pilihan yang terbaik, dalam istilah orang banjar basusun sirih, bangunan ini di cat kapur warna putih yang sudah mulai memudar dan kusam…..atapnya dari seng, dari luar tidak tampak bahwa ini adalah bangunan gereja, bentuk bangunan gereja ini memang mirip dengan rumah – rumah warga lainnya, tidak ada papan plang……. namun pada saat kita melihat ke dalam ruangan barulah tahu bahwa ini adalah bangunan gereja. penghasilan para warga di sini adalah dari sector pertanian dan perkebunan, biasanya mereka menanami lereng – lereng gunung dengan pohon karet, padi yang biasa di kenal dengan manugal, sedang apabila menanam di dataran yang rata, tempat untuk menenam padi ini di sebut paradenan, beras hasil tugalan ini biasanya kami sebut beras gunung, beras ini terasa enak, sangat harum, dan pulen,…….. untuk mencukupi kebutuhan lauk pauk lainnya, masyarakat di sini juga menanam aneka sayur sayuran seperti bayam dan sawi, juga beternak terutama aneka unggas, kambing dan babi.
bagian dalam gereja
 Posyandu bukit sion berada di rumah bapak pendeta, persis di sebelah kanan bangunan gereja, di dekat rimbun pohon mangga yang menghijau ……… jangan berpikir bahwa posyandu ini selayaknya posyandu seperti yang di tulis di buku – buku teori, tidak ada meja, kegiatan posyandu sekaligus pusling ini semua serba lesehan, kesadaran masyarakat sudah baik akan pentingnya keposyandu.kegiatan berlangsung kurang lebih 2 jam 30 menit, tidak ada yang istemewa yang dapat ku tuliskan dalam kegiatan posyandu ini, semua berjalan dengan santai dan di selingi dengan senda gurau.
posyandu bukit sion, menunggu kader
Entah seperti apa suasana malam di tempat ini, beberapa bulan yang lewat saat kami mengunjungi panikin, ditempat ini belum terdapat penerangan dari pihak PLN, pada saat terakhir kami berkunjung kesini, kami melihat diatap atap rumah penduduk sudah terdapat panel Surya – surya cell yang akan mengubah sinar matahari menjadi energi listrik,panel surya – surya cell menghasilkan arus listrik searah DC yang tersimpan dalam aki yang akan menyalakan lampu LED ( Light Emitting Diode ), kabarnya lampu LED 3 Watt setara dengan lampu AC 15 watt. syukurlah listrik tenaga surya sudah menerangi desa, meski memang kemampuannya jelas terbatas.
Di panikin sudah ada Sekolah Dasar negeri, yaitu SDN Panikin, hanya saja para gurunya masih belum ada yang tinggal di desa ini, hampir semuanya pulang pergi untuk mengajar, bangunan sekolah ini berada diatas bukit, jenis bangunan adalah semi permanen
 Pulang dari kegiatan posyandu, kembali hamparan hijau bukit – bukit menjadi bagian kami, karena panikin berada di atas bukit, otomatis pulang kita tidak bakalan menemui jalan – jalan yang menanjak lagi, jalan – jalan akan cenderung menurun.kami pun mesti hati hati mengendarai kendaraan, saat menuruni bukit jalan jalan ini akan terasa lebih licin.....namun ada kepuasan terbersit......hari ini kami sudah melakukan sesuatu yang berarti.

salah satu peliharaan penduduk