Jumat, 21 Agustus 2015

NAPAK TILAS KERUMAH PERJUANGAN ALRI DIVISI IV PERTAHANANAN KALIMANTAN, KARANG JAWA KANDANGAN.



karang Jawa Muka adalah salah satu desa di  kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, sebuah desa yang namanya ikut dicatat dalam Sejarah Perjuangan kemerdekaan RI di Kalimantan Selatan.
 
Dalam perjalanan Pulang dari menghadiri undangan Pertemuan Perencanaan dan Evaluasi kesehatan Olahraga Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan di Hotel Summer BnB Banjarmasin, tanpa sengaja, disalah satu Moshula di daerah perbatasan antara Kabupaten Tapin dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, setelah melaksanakan shalat Djuhur, sambil melepas lelah selama perjalan aku bertemu dengan kenalan yang sama-sama melepaskan lelah, Ia mengatakan bekerja di Banjarbaru namun asli kandangan, topik pembicaraan kami bebas saja saat itu, hingga pada akhirnya pembicaraan kami beralih ke tema rencana perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, ia mengatakan akan merayakannya di Puncak Halao-halao, ia pun menawarkan kepadaku apakah mau ikut serta, namun tawaran itu kutolak, karena aku harus pulang ke Barabai, ia juga banyak bercerita tentang sejarah perjuangan kemerdekaan yang terjadi di Kandangan, tempat kelahirannya. Hingga dari pembiraan tersebut terbersit keinginanku untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut, ia pun sebenarnya berkeinginan untuk mendampingiku mendatangi tempat-tempat tersebut, namun karena ia sudah ada jadwal ke halao-halao, dengan sangat menyesal ia tidak dapat mendampingiku, namun ia menyarankan kepadaku untuk mendatangi daerah Padang Batung, setelah saling tukar tukaran nomor telepon kami pun berpisah.
Semenjak memasuki bulan Agustus, Suasana perayaan hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus memang sudah terasa,semua bangunan baik bangunan pemerintahan, swasta,perseorangan dan rumah-rumah berhiaskan bendera Merah Putih.
dan bagiku sendiri 17 Agustus memang selalu menjadi hari yang istemewa, pada hari tersebut selain untuk memperingati hari kemerdekaan, hari tersebut juga hari untuk memperingati lahir Almarhum Abah yang kebetulan terlahir pada tanggal tersebut,17 Agustus 1940......Merdeka dan Selamat Ulang Tahun Abah, sekelumit Do’a terdalam dan terjujur tercurah untukmu.
Kota Kandangan meski hanya berjarak ± 30 KM dari kota kelahiranku, tetap saja merupakan daerah yang asing bagiku, patokan dari kenalan yang mengatatakan bahwa untuk mencapai Kecamatan Padang Batung adalah arah menuju Lok Sado, namun apabila mau ke Lok Sado belok Kanan, untuk sampai Padang Batung mesti arah sebaliknya.....dengan gambaran demikian, masih saja, semua terasa kabur bagiku, maklum ke dua tempat tersebut belum pernah terjamah olehku. Kenalan tersebut tak habis akal, sebelum Batalyon infantri 621 Kompi senapan C, belok kanan selanjutnya tanya orang....pada akhirnya dengan cara demikian perjalanan ke Padang Batung di mulai.
Sebelum ketemu persimpangan atau sesudah ketemu persimpangan, bertanya saja, dengan kata kunci arah ke Padang Batung atau Monumen Proklamasi 17 Mei 1949, maklum dengan cara ini lebih cepat dan efektif dari pada bertanya pada om google yang kebetulan di layar Hp hanya ada simbol E dan sinyal yang didapatkan pun sering putus-putus (menurut teman yang lain jaringannya bagus kok...hanya aku saja yang lagi sial).
Daerah Padang Batung memang tidak bisa di pisahkan dengan sejarah perjuangan di Kalimantan Selatan, karena di di Desa Padang Batung merupakan tempat kelahiran Bapak Gerilya Kalimantan Selatan, Hassan Basry dilahirkan, kemudian di Durian Rabung dibentuk Panitia Persiapan Proklamasi 17 Mei 1949, kemudian tak jauh dari kecamatan Padang Batung, di Desa Ni’ih dilaksanakan penanda tanganan Teks Proklamasi oleh Letnan Kolonel Hasan Basry, selanjutnya di Desa Mandapai tempat pembacaan teks Proklamsi 17 Mei 1949 tersebut.
Proklamasi 17 Mei 1949 merupakan sebuah fakta sejarah betapa rakyat Kalimantan Selatan tetap setia kepada NKRI, meskipun Pemerintah RI secara sadar dan resmi melepaskan pulau kalimantan menjadi wilayah jajahan Belanda dalam persetujuan Linggar Jati, karena dalam kesepakatan tersebut dinyatakan bahwa kekuasaan RI hanya Jawa, Madura dan Sumatera.
Rencana awal setelah belok dari Batalyon Infanteri 621 Kompi C senapan, aku akan membuat sketsa peta perjalanan menuju Padang Batung, dengan mengingat nama desa selama perjalanan, namun sejujurnya, tangan tak sampai, jauh panggang dari api.....aku lupa semuanya, terlalu banyak belokan untuk diingat, dan terlalu banyak nama desa yang harus diingat, dan pada akhirnya disebelah kiri jalan, aku melihat bangunan tua dengan tugu berlambang ALRI, dan didepan kiri dan kanan bangunan tua tersebut terdapat 2 plang bertuliskan “RUMAH PERJUANGAN ALRI DIVISI IV HANKAL (MILIK H.KASPUL ANWAR)” sebelah kanan bangunan dan “KAMPUS PERJUANGAN” pada sebelah kiri bangunan.
Banguna tua tersebut terbuat dari kayu, beratap sirap, dan berpondasi beton, model bangunan benar-benar tempo dulu, bangunan tersebut di cat warna putih dan Cokelat yang nampak mulai terkelupas, pelatarannya terbuat dari beton dan pintu masuk utama nampak di gembok, aku mencoba melihat kedalam lewat kaca pada pintu utama, lantai ruang tamu nampak dilapisi dengan karpet plastik, tidak ada perabotan disana, kosong....sumber penerangan untuk Bangunan tua ini dari Listrik PLN, namun sepertinya bangunan ini sudah tidak dihuni lagi.
Pada nomor bangunan tertulis Desa Karang Jawa Muka, Nomor 33 RT. 1, RK. I, dan pada Plang yang bertuliskan “KAMPUS PERJUANGAN” di sebutkan bahwa jalan tersebut bernama Jalan Pemuda.
Pada tugu berlambang ALRI di depan Bangunan Tua, terdapat penjelasan tentang sejarah yang penah terjadi Bangunan tua tersebut, penjelasannya ditatahkan pada batu hitam yang menempel pada tugu, dikatakan bahwa pada bangunan ini, tepatnya pada tanggal 2 September 1949 setelah pertemuan Munggu Raya, diadakan  acara ramah tamah antara delegasi Pemerintah RI, yaitu Mayjend Soharyo Haryowardoyo, Kapten Zainal Abidin dari Angkatan Darat dan Kapten Budiarjo dari Angkatan Udara, dari Delegasi Pemerintah Belanda adalah Residen A.G. Deelman dan Overste Veenendal, selanjutnya terdapat pula Delegasi dari Komisi Tiga Negara (KTN) yaitu Kolonel Neals (UNCI) dengan tokoh ALRI Divisi IV pertahanan Kalimantan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Hassan Basry.
Dari kata Kunci pertemuan Munggu Raya, aku duduk dipelataran Bangunan Tua itu, kutatap layar di Hp....simbolnya masih E, kuketik pada Opera Mini Kata kunci tersebut, namun proses Loading terasa sangat lama, kuambil buku catatan dari dalam tas ransel yang tersandang, seingatku, pernah aku membuat catatan kecil dari sebuah buku berjudul “Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik” Karangan Wajidi. Ya.....aku bersyukur, pada akhirnya tidak seperti sebelum-sebelumnya.....biasanya dalam buku catatanku selalu tak ada, pada akhirnya buku catatan tersebut memberi informasi kepadaku, sedang Opera mini masih tetap loading. Kutatap simbol ALRI didepan bangunan tua itu, karena pertemuan Munggu Raya tersebut adalah bukti ketidak tahuan lagi bagaimana cara Belanda menghadapi Para Gerilyawan di Kalimantan Selatan, sehingga Belanda Berinisiatif meminta Tolong kepada Pemerintah RI dan Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI) untuk mendamaikan keadaan sekaligus sebagai penengah dan saksi dalam perundingan perundingan antara Belanda dan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, dimana Utusan Militer indonesia sebagai Penasehat dan UNCI sebagai Penengah/saksi perundingan.
Dalam pertemuan Munggu Raya tersebut beberapa hasil yang didapatkan adalah :
1.      Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), mengakui dengan resmi Hassan Basry sebagai Letnan Kolonel dan Komandan ALRI DIV.IV Pertahanan Kalimantan
2.      Genjatan Senjata dan penghentian permusuhan antara ALRI dan Belanda selambat-lambatnya harus dilakukan dalam 14 hari terhitung pada hari tersebut (2 September 1949)

Pada akhirnya, kutatap terakhir kali Bangunan Tua penuh sejarah tersebut sambil memasukkan catatan yang kubaca kedalam ransel, kutengadahkan tangan keatas dan berdo’a, sebuah do’a untukmu pahlawan, kucoba membayangkan saat-saat itu, pastilah mereka berteriak merdeka dengan lantang....ku hela napas terdalam, pada Karang Jawa aku berpijak, sebuah tempat yang dahulu juga markas ALRI, sebuah tempat Para Pahlawan dahulu pun berpijak......Selamat HUT RI ke-70.   
    

Sabtu, 03 Januari 2015

Catatan Pendakian Puncak Hauk (Gunung Tertinggi Kab. Balangan)



Ada anggapan bagi kawan-kawan yang pernah bekerja di wilayah Tebing Tinggi bahwasanya tak lengkap semuanya itu apabila belum menjejakkan kaki di Puncak gunung Hauk. Sejujurnya sejak aku ditempatkan bekerja di Puskesmas Tebing Tinggi tahun 2006 selalu ada cerita tentang keberadaan Gunung Hauk, baik dari teman-teman di Puskesmas atau pun dari teman-teman di Unit Kerja lainnya di wilayah Kecamatan Tebing Tinggi. dan bahkan setiap kali kumpul dengan teman-teman diluar kecamatan Tebing Tinggi pertanyaan tentang Gunung Hauk terkadang muncul dengan sendirinya. Sebegitu besarkah pamor dari Gunung Hauk ini ?
Gunung Hauk memang mempunyai daya tarik luar biasa, sebagai bagian dari Pegunungan Meratus meski bukan yang tertinggi di Kalimantan Selatan namun di kabupaten Balangan Gunung Hauk adalah yang tertinggi, ketinggiannya menurut beberapa pendapat ada yang mencapai 1.525 MDPL, 1.325 MDPL, ada pula yang mengatakan hanya 1.025 MDPL entah mana yang lebih benar. Bagi Masyarakat Desa Ajung kecamatan Tebing Tinggi Kab. Balangan dimana Gunung ini berada dan Masyarakat Dayak Pitap Gunung ini adalah Gunung yang di sakralkan, dipuncak gunung ini lah peletakan segala nadjar mereka, meletakkan harapan dan sebagainya demi kemaslahatan hidup mereka, menurut bapak Kepala Desa Ajung : Bapak Junal, dalam ritual-ritual adat keagamaan yang dilaksanakan, maka segala roh yang menguasai dan berada di Gunung Hauk di undang untuk ikut hadir dalam Upacara yang dilaksanakan dan merestui semua harapan. Sehingga beliau mengharapkan bagi yang melaksanakan pendakian untuk tidak berbuat hal-hal yang berlebihan, berbuat kemungkaran dan merusak segala yang ada baik yang ditemukan selama dalam perjalanan ataupun saat berada di puncaknya, dan apabila mau mengambil sesuatu dari tempat-tempat tersebut ambillah seperlu nya saja. Bila mau buang air kecil atau buang air besar minta izinlah kepada para penunggu Gunung tersebut, dan yang tak kalah penting sebelum melakukan pendakian kepuncak mintalah izin kepada para Tetuha adat dengan menyampaikan maksud dan tujuan pendakian.
Kesempatanku untuk menjejakkan kaki di puncak Hauk pun datang tanpa disengaja, meski memang teman-teman di Puskesmas sudah merencanakan keberangkatan jauh-jauh hari sebelumnya, namun dikarenakan kesibukan – kesibukan, Aku sebenarnya adalah orang yang tidak termasuk team pendakian yang berangkat pada hari Sabtu tanggal 6 September 2014 itu, kebetulan nya terjadi karena pada hari itu aku ikut sebagai team pelayanan kesehatan di Desa Ajung dan berangkat duluan ke tempat acara pelayanan kesehatan di bandingkan team pendakian puncak Hauk, secara kebetulan lagi pada hari tersebut banyak masyarakat Desa Ajung yang keluar Desa menghadiri Aruh Adat di Desa Langkap kecamatan Tebing Tinggi, sehingga acara pelayanan kesehatan pada saat team pendakian Puncak Hauk tiba di Desa Ajung Pelayanan Kesehatan Daerah Tertencil sudah hampir selesai, teriakan kawan-kawan yang memanggil ku dengan ucapan ‘kapan lagi’ menjadikan keinginanku untuk mencapai Puncak Hauk  timbul dengan sendirinya. Kubuka jok kendaraanku ada jaket tebal kusam yang bisa kugunakan untuk sedikit melawan udara dingin dipuncak. Dengan bekal 2 bungkus mie Instan, dan 1500ml air mineral yang ku beli di warung Bos Suwandi di desa Ajung, aku resmi menyatakan diri secara suka rela sebagai bagian dari Team Pendakian Puncak Hauk Puskesmas Tebing Tinggi.
Rute yang di gunakan dalam pendakian adalah Desa Ajung sebagai titik keberangkatan, disana pula teman-teman menitipkan kendaraan Roda Dua dan Mobil dirumah Bapak Sekdes Desa Ajung, Bapak Rahmadi atau Pak Rahna Sekaligus meminta Izin pendakian. Dari Desa Ajung, perjalanan kami mulai dengan jalan kaki menuju Batu Ajung melewati jembatan Gantung Desa, Batu Ajung Sendiri merupakan  daerah Sungai yang terdapat Batu yang sangat besar ditengah sungainya. Kami sampai diseberang sungai Dengan membelah sungai Batu Ajung yang jernih dan hanya selutut orang dewasa sampai diseberang sungai kembali Ketua Team Pendakian Mas Yuliarso menyarankan pemeriksaan perbekalan logistic, waktu yang demikian ini digunakan oleh kawan-kawan untuk makan Siang ditengah rimbun bambu karena jam sudah menunjukkan Pukul 11 Siang meski sadar sebegitu selesai makan langsung melakukan pendakian. Anggapannya seperti sepeda motor kali ya……sebelum jalan harus isi tangki bahan bakar full dulu, atau mungkin bisa jadi juga karena takut nanti tidak sempat makan lagi karena menurut kabar pendakian ke puncak Hauk bisa sampai 4 jam, nah kami ini semua adalah para para pendaki amatiran bisa jadi waktu pendakian menjadi lebih lama. Aku termasuk orang yang tidak ikut makan, bukan malu minta sama teman-teman yang bawa nasi bungkus dari bawah, namun setahuku kurang bagus apabila melaksanakan aktivitas fisik sehabis Makan, karena sehabis makan maka tubuh kita akan melakuakan aktivitas mencerna makanan dan tubuh kita pun melaksanakan aktivitas pendakian, artinya pada saat bersamaan tubuh kita melaksanakan aktivitas ganda, tentu tubuh kita akan menjadi lebih cepat lelah nantinya.
Akhirnya setelah sekitar 15 menit acara makan teman-teman, perjalanan pun dilanjutkan, jalan yang dilewati adalah jalan setapak berwarna merah khas daerah pegunungan, disisi kiri kanan jalan setapak ini adalah pohon-pohon bambu dan perkebunan karet warga. Jalan-jalan ini pun sudah mulai mendaki dengan sudut kemiringan mencapai lebih dari 30°, 15 menit berlalu kaki mulai terasa pegal dan napas mulai memburu, untuk membantu langkah yang berat aku ambil ranting kayu yang ku jadikan sebagai tongkat. Dan tanpa di duga di tempat-tempat seperti ini ternyata ada sinyal seluler yang hilang timbul aku gunakan untuk memberi kabar kerumah tentang keikut sertaan ku dalam pendakian ini. Bicara langsung dengan menelpon tidak bisa jadi dengan hanya menggunakan pesan singkat kabar ini pun pending laporannya di layar ponselku.
Team pendakian mendaki saling beriringan, semangat ku mulai kendur sehingga terbersit di hati untuk turun saja dan ikut turun dengan anggota team PNPM kecamatan Tebing Tinggi yang urung melanjutkan pendakian. Apalagi saat kuraba di Saku celanaku harmonica ku tercecer entah di mana dan perasaanku tentang kecukupan Air minum yang kubawa hanya 1.500 ml apa cukup sampai besok hari, namun saat melihat kawan-kawan di bawah yang terus melangkah…..keinginanku untuk menjejakkan kaki dipuncak Hauk kembali timbul, meski apabila menatap kedepan kembali yang kutemukan tanjakan jalan setapak yang mulai tertutup dedaunan layu semangat ini pun ikut-ikutan luruh pula, sehingga mungkin seandainya ada gambaran tentang semangat pendakianku ini persis seperti grafik yang turun naik, turun naik dari angka terendah naik ke angka tertinggi dan tak seberapa terus melorot ke titik paling dalam lagi.
Kami yang pada awal berjalan beriringan perlahan mulai terpisah-pisah, hanya teriakan ‘Hoiiii’ yang sesekali terdengar dan bagi yang mendengarnya akan menimpalinya dengan teriakan yang sama, bagi yang berada di barisan belakang teriakan yang didengar ini serasa menjadi penyemangat bahwa ia sebenarnya ia tidaklah tertinggal dari kelompok terlalu jauh sedang yang berada didepan teriakan ini sebagai pertanda pula bahwa ia tidak lah sendirian dan menumbuhkan keyakinan bahwa jalan yang dilewatinya bukan jalan yang salah, dengan pemandangan disisi jalan yang berupa tanaman karet dan kadang memasusuki rimbun ilalang masih belum memberiku daya tarik,hanya semakin terasa punggungku semakin basah oleh keringat, lebih sialnya lagi matahari benar-benar berada persis diatas kepalaku dan tangan memegang tongkatpun mulai terasa perih karena terkelupas, disini aku baru sadar tak ada yang salah kalau kita memakai sarung tangan, yang salah sebenarnya adalah aku karena sama sekali tidak mempunyai sarung tangan. Setelah kurang lebih 2 jam berjalan aku sampai di sebuah pondok, kulihat teman-teman yang telah duluan sampai sedang beristirahat didalam pondok yang tingginya hampir 2 meter, sehingga apabila ingin masuk kedalam pondok yang ternyata tidak terkunci ini harus melewati anak tangga dari kayu, adapula yang kulihat sedang melaksanakan shalat dhuhur, melihat pondok dari jarak kurang lebih 5 meter serasa melihat garis finish saja, mata mulai berkunang-kunang, pakaian yang kukenakan sudah basah oleh keringat, sampai didepan pondok tenaga serasa bersisa 30%, akupun ambruk didepan pondok sebegitu sampai…bukan karena pingsan, namun kuakui ini benar-benar melelahkan, akupun rebahan di sisi jalan setapak tanpa alas berbantalkan ransel, menurut Mas Yuliarso sang ketua pendakian, pondok ini adalah pertengahan jalan untuk mencapai puncak hauk, teman-teman menamakan pondok ini pondok cinta, entahlah kenapa dan siapa pula yang pertama kali memberi nama yang demikian. Sepertinya pondok ini hanya di gunakan pada saat musim huma tiba, Nampak tidak terawat namun lumayan kokoh sebagai pondok ditengah hutan.
Keringat yang membanjir di seluruh tubuh tak kupedulikan, tegukan air mineral lebih banyak kuteguk…terbersit pikiran untuk putar haluan pada saat teman-teman mulai melanjutkan perjalanan, tawaran permen dan gula merah yang ditawarkan teman-teman yang akan berangkat tak bisa kutolak, rasa manisnya dan kandungan glokusanya kembali membangkit tenaga yang habis terkuras, temanku yang muntah-muntah selama perjalanan memutuskan melanjutkan pendakian, kuputuskan melanjutkan pendakian setelah punggung teman-teman tak tampak lagi dari pandangan, jalan yang mesti dilalui berikutnya berupa tanjakan padang ilalang yang tingginya ±2 meter, selebihnya aku benar-benar berada ditengah hutan, yang kutahu hanyalah pohon sungkai dengan berbagai ukuran selebihnya aku tak mengetahuinya. Selebihnya dalam pendakian puncak hauk ini hanya kesenangan saja yang kujumpai, sejujurnya kuakui inilah pertama kalinya melakukan pendakian, namun pemandangan yang terhampar akan menjadi munafik bila kukatakan tidak indah, ternyata benar apa yang pernah kudengar selama ini bahwa Meratus selalu indah dalam musim apapun, kau tidak dapat membedakan antara musim hujan atau kemarau. Semua musim itu sama saja, alam terbiasa tenang, hutan kelam, dan kicau burung beterbangan. Pada musim hujan kupu kupu biasanya muncul dari balik semak belukar dan anggrek tropica bergelantungan di pohon pohon.
Aku serasa berada di film the lord of the rings saat memasuki kawasan hutan yang di dominasi pepohonan berwarna merah, terlihat seperti pohon galam dengan kulitnya yang terkelupas, namun dari kekerasannya dan tekstur kayunya seperti pohon jambu kelotok, cahaya matahari sulit masuk dikarenakan rimbunnya kawasan hutan ini, udara terasa sangat sejuk, pohon rotan nampak bergelantungan dan seperti menjulur kebawah, kuteriakkan dengan lantang hoooooi…..dan jawaban dari team diatas pun menyahuti dengan lantang, demikian pula terdengar sahutan dari arah belakang pertanda aku tidaklah sendirian dikawasan ini.
Dari kejauhan kulihat hamparan rumput hijau….pada saat aku berada didepannya nampaklah ini bukan lebih tepat seperti lumut yang tebal seperti hambal(karpet), pada saat kuinjakkan kaki melewatinya terasa sangat kenyal, kemudian kutemukan rombongan terdepan sedang beristirahat di tepi sebuah pancuran dengan airnya berwarna merah, airnya sangat dingin, cukuplah menyegarkan badan yang kelelahan dan membilas basah keringat ditempat ini, air berwarna kemerahan…namun pada saat di tampung dalam botol kosong air mineral, airnya sangat jernih, tidak berwarna dan tidak berbau, sumber air di tempat ini lah sumber air terdekat dengan puncak gunung hauk.
Pendakian berlanjut, jalan di depan berupa jalan setapak bebabuan yang kemiringannya hampir 75°, pendakian harus ekstra hati-hati, sebelah kanan adalah rimbun pakis dan ilalalng sedang diselah kanan adalah sisi gunung sehingga nampak seperti daerah jurang dan nampaklah lah bahwa kita begitu jauh dari permukaan tanah, yang kalu kita terjatuh…entah akan seperti apa jadinya, bebatuan terasa sangat licin, sehingga kami melewatinya seperti merayap, dibatu-batu yang besar Nampak lumut-lumut seperti hambal dan berserak anggrek hutan tak berbunga serta tanaman kantong semar diketeduhan rimbun ilalang dan pakis, diujung pendakian kami menemukan dataran bertutup tanaman cemara kerdil yang sangat rapat sehingga udara terasa sangat teduh dan bahkan karena kerapatannya sinar matahari pun tak bisa masuk kedataran ini…..dan lumut seperti karpet pun tumbuh dengan suburnya demikian pula anggrek hutan tak berbunga dan berbagai ukuran kantong semar berwarna hijau dan apabila ukurannya besar berwarna merah dengan hiasan warna bintik merah yang lebih tegas…..aku merasa seperti menemukan taman para kurcaci saja. Sambil menunggu rombongan yang masih tertinggal di bawah kami melepaskan tas ransel duduk sambil menikmati tegukan air dan ada pula yang sambil rebahan. Jalan selanjutnya adalah tidak ada lagi pendakiannya…didepan sana Nampak lah tanaman perdu berdaun hijau dan pucuk-pucuknya berwarna merah…..temanku yang pernah mendaki mengatakan itulah puncak gunung hauk.
Pada akhirnya kami puncak hauk kami jejakkan setelah setelah ± 5 jam berjalan dan mendaki, puncak hauk ini berupa datan bergelombang dengan ukuran ± 20 meter x 100 meter, tanahnya ditumbuhi rumpaut, cemara kerdil dan tanaman perdu berdaun hijau dengan pucuknya yang khas berwarna kemerahan dan ada pula bebatuan berbagai ukuran daerahnya bersih, sampah yang ada hanyalah berupa sisa-sisa ancak kering bekas masyarakat dayak pitap meletakkan sesaji dan tengkorak kepala kambing sebagai pelengkap sesaji ritual masyarakat…..udara sore masih terasa panas kami rasakan dan untuk melawan hangatnya matahari, kami berteduh di bawah pepohonan perdu…pukul 5.30 udara bertiup semakin kencang,membawa keteduhan dan lama-kelamaan semakin dingin yang terasa mulai menusuk tulang…..kami pun mulai memakai jacket dan menyalakan menylakan api unggun didaerah berbatu dan sebagian mulai mendirikan tenda…..matahari mulai menampakan tanda-tanda kepulangannya, matahari berwarna agak kemerahan dan Nampak didepan kami….pada saat ini kami mulai bertayamum dan bersiap melaksanakan siasa yang tersisa dari shalat ashar….di matras aku bersimpuh dan diakhir do’a kuucapkan kebesaranmu dan teringat cerita di masa kecil bahwa mereka yang telah tiada berada di atas langit….sehingga dalam ego terbersit harap aku mengetuk satu pintu di langit dan mendapati Abah yang telah tiada kutemukan disana….Abah aku berada jauh dari permulaan kita berada, namun ini hanya lah harap…yang ada hanyalah kebesaran Tuhan dan dengan kekaguman atas semua kuakhiri shalat ashar dan bersiap melanjutkan shalat magrib…..udara malam semakin kental dan kegelapan menjadi raja, niat hati tak akan melewatkan malam-malam di puncak hauk pun tak kesampaian…diatas matras terlelap aku, tak jauh dariku teman-temanku disamping api unggun pun tak beda, pukul dini 2 malam tetes embun jatuh membias di wajah….suara alam menjadi jelas, suara gong lamat-lamat terdengar tanda bahwa Aruh adat di desa Langkap masih berlangsung, embun dan disertai angin yang berhembus kencang menjadidikanku gigil dalam dinginnya…..kurapatkan jeket dan kurapatkan badanku ke dekat api unggun, kuhangatkan air dan dengan secangkir kopi hangat, kiranya cukuplah untuk mengakhiri catatan ini.

   



Kusadari sepenuhnya, hasil tulisan ini tidak mungkin sempurna dan mendalam karena aku hanya menghabiskan waktu yang tidak lama, dan tidak bermaksud membuat penelitian, tapi paling tidak, ada hal-hal yang bisa kutangkap secara langsung dan bisa kukabarkan pada orang-orang yang belum pernah kesana.