Sabtu, 03 Januari 2015

Catatan Pendakian Puncak Hauk (Gunung Tertinggi Kab. Balangan)



Ada anggapan bagi kawan-kawan yang pernah bekerja di wilayah Tebing Tinggi bahwasanya tak lengkap semuanya itu apabila belum menjejakkan kaki di Puncak gunung Hauk. Sejujurnya sejak aku ditempatkan bekerja di Puskesmas Tebing Tinggi tahun 2006 selalu ada cerita tentang keberadaan Gunung Hauk, baik dari teman-teman di Puskesmas atau pun dari teman-teman di Unit Kerja lainnya di wilayah Kecamatan Tebing Tinggi. dan bahkan setiap kali kumpul dengan teman-teman diluar kecamatan Tebing Tinggi pertanyaan tentang Gunung Hauk terkadang muncul dengan sendirinya. Sebegitu besarkah pamor dari Gunung Hauk ini ?
Gunung Hauk memang mempunyai daya tarik luar biasa, sebagai bagian dari Pegunungan Meratus meski bukan yang tertinggi di Kalimantan Selatan namun di kabupaten Balangan Gunung Hauk adalah yang tertinggi, ketinggiannya menurut beberapa pendapat ada yang mencapai 1.525 MDPL, 1.325 MDPL, ada pula yang mengatakan hanya 1.025 MDPL entah mana yang lebih benar. Bagi Masyarakat Desa Ajung kecamatan Tebing Tinggi Kab. Balangan dimana Gunung ini berada dan Masyarakat Dayak Pitap Gunung ini adalah Gunung yang di sakralkan, dipuncak gunung ini lah peletakan segala nadjar mereka, meletakkan harapan dan sebagainya demi kemaslahatan hidup mereka, menurut bapak Kepala Desa Ajung : Bapak Junal, dalam ritual-ritual adat keagamaan yang dilaksanakan, maka segala roh yang menguasai dan berada di Gunung Hauk di undang untuk ikut hadir dalam Upacara yang dilaksanakan dan merestui semua harapan. Sehingga beliau mengharapkan bagi yang melaksanakan pendakian untuk tidak berbuat hal-hal yang berlebihan, berbuat kemungkaran dan merusak segala yang ada baik yang ditemukan selama dalam perjalanan ataupun saat berada di puncaknya, dan apabila mau mengambil sesuatu dari tempat-tempat tersebut ambillah seperlu nya saja. Bila mau buang air kecil atau buang air besar minta izinlah kepada para penunggu Gunung tersebut, dan yang tak kalah penting sebelum melakukan pendakian kepuncak mintalah izin kepada para Tetuha adat dengan menyampaikan maksud dan tujuan pendakian.
Kesempatanku untuk menjejakkan kaki di puncak Hauk pun datang tanpa disengaja, meski memang teman-teman di Puskesmas sudah merencanakan keberangkatan jauh-jauh hari sebelumnya, namun dikarenakan kesibukan – kesibukan, Aku sebenarnya adalah orang yang tidak termasuk team pendakian yang berangkat pada hari Sabtu tanggal 6 September 2014 itu, kebetulan nya terjadi karena pada hari itu aku ikut sebagai team pelayanan kesehatan di Desa Ajung dan berangkat duluan ke tempat acara pelayanan kesehatan di bandingkan team pendakian puncak Hauk, secara kebetulan lagi pada hari tersebut banyak masyarakat Desa Ajung yang keluar Desa menghadiri Aruh Adat di Desa Langkap kecamatan Tebing Tinggi, sehingga acara pelayanan kesehatan pada saat team pendakian Puncak Hauk tiba di Desa Ajung Pelayanan Kesehatan Daerah Tertencil sudah hampir selesai, teriakan kawan-kawan yang memanggil ku dengan ucapan ‘kapan lagi’ menjadikan keinginanku untuk mencapai Puncak Hauk  timbul dengan sendirinya. Kubuka jok kendaraanku ada jaket tebal kusam yang bisa kugunakan untuk sedikit melawan udara dingin dipuncak. Dengan bekal 2 bungkus mie Instan, dan 1500ml air mineral yang ku beli di warung Bos Suwandi di desa Ajung, aku resmi menyatakan diri secara suka rela sebagai bagian dari Team Pendakian Puncak Hauk Puskesmas Tebing Tinggi.
Rute yang di gunakan dalam pendakian adalah Desa Ajung sebagai titik keberangkatan, disana pula teman-teman menitipkan kendaraan Roda Dua dan Mobil dirumah Bapak Sekdes Desa Ajung, Bapak Rahmadi atau Pak Rahna Sekaligus meminta Izin pendakian. Dari Desa Ajung, perjalanan kami mulai dengan jalan kaki menuju Batu Ajung melewati jembatan Gantung Desa, Batu Ajung Sendiri merupakan  daerah Sungai yang terdapat Batu yang sangat besar ditengah sungainya. Kami sampai diseberang sungai Dengan membelah sungai Batu Ajung yang jernih dan hanya selutut orang dewasa sampai diseberang sungai kembali Ketua Team Pendakian Mas Yuliarso menyarankan pemeriksaan perbekalan logistic, waktu yang demikian ini digunakan oleh kawan-kawan untuk makan Siang ditengah rimbun bambu karena jam sudah menunjukkan Pukul 11 Siang meski sadar sebegitu selesai makan langsung melakukan pendakian. Anggapannya seperti sepeda motor kali ya……sebelum jalan harus isi tangki bahan bakar full dulu, atau mungkin bisa jadi juga karena takut nanti tidak sempat makan lagi karena menurut kabar pendakian ke puncak Hauk bisa sampai 4 jam, nah kami ini semua adalah para para pendaki amatiran bisa jadi waktu pendakian menjadi lebih lama. Aku termasuk orang yang tidak ikut makan, bukan malu minta sama teman-teman yang bawa nasi bungkus dari bawah, namun setahuku kurang bagus apabila melaksanakan aktivitas fisik sehabis Makan, karena sehabis makan maka tubuh kita akan melakuakan aktivitas mencerna makanan dan tubuh kita pun melaksanakan aktivitas pendakian, artinya pada saat bersamaan tubuh kita melaksanakan aktivitas ganda, tentu tubuh kita akan menjadi lebih cepat lelah nantinya.
Akhirnya setelah sekitar 15 menit acara makan teman-teman, perjalanan pun dilanjutkan, jalan yang dilewati adalah jalan setapak berwarna merah khas daerah pegunungan, disisi kiri kanan jalan setapak ini adalah pohon-pohon bambu dan perkebunan karet warga. Jalan-jalan ini pun sudah mulai mendaki dengan sudut kemiringan mencapai lebih dari 30°, 15 menit berlalu kaki mulai terasa pegal dan napas mulai memburu, untuk membantu langkah yang berat aku ambil ranting kayu yang ku jadikan sebagai tongkat. Dan tanpa di duga di tempat-tempat seperti ini ternyata ada sinyal seluler yang hilang timbul aku gunakan untuk memberi kabar kerumah tentang keikut sertaan ku dalam pendakian ini. Bicara langsung dengan menelpon tidak bisa jadi dengan hanya menggunakan pesan singkat kabar ini pun pending laporannya di layar ponselku.
Team pendakian mendaki saling beriringan, semangat ku mulai kendur sehingga terbersit di hati untuk turun saja dan ikut turun dengan anggota team PNPM kecamatan Tebing Tinggi yang urung melanjutkan pendakian. Apalagi saat kuraba di Saku celanaku harmonica ku tercecer entah di mana dan perasaanku tentang kecukupan Air minum yang kubawa hanya 1.500 ml apa cukup sampai besok hari, namun saat melihat kawan-kawan di bawah yang terus melangkah…..keinginanku untuk menjejakkan kaki dipuncak Hauk kembali timbul, meski apabila menatap kedepan kembali yang kutemukan tanjakan jalan setapak yang mulai tertutup dedaunan layu semangat ini pun ikut-ikutan luruh pula, sehingga mungkin seandainya ada gambaran tentang semangat pendakianku ini persis seperti grafik yang turun naik, turun naik dari angka terendah naik ke angka tertinggi dan tak seberapa terus melorot ke titik paling dalam lagi.
Kami yang pada awal berjalan beriringan perlahan mulai terpisah-pisah, hanya teriakan ‘Hoiiii’ yang sesekali terdengar dan bagi yang mendengarnya akan menimpalinya dengan teriakan yang sama, bagi yang berada di barisan belakang teriakan yang didengar ini serasa menjadi penyemangat bahwa ia sebenarnya ia tidaklah tertinggal dari kelompok terlalu jauh sedang yang berada didepan teriakan ini sebagai pertanda pula bahwa ia tidak lah sendirian dan menumbuhkan keyakinan bahwa jalan yang dilewatinya bukan jalan yang salah, dengan pemandangan disisi jalan yang berupa tanaman karet dan kadang memasusuki rimbun ilalang masih belum memberiku daya tarik,hanya semakin terasa punggungku semakin basah oleh keringat, lebih sialnya lagi matahari benar-benar berada persis diatas kepalaku dan tangan memegang tongkatpun mulai terasa perih karena terkelupas, disini aku baru sadar tak ada yang salah kalau kita memakai sarung tangan, yang salah sebenarnya adalah aku karena sama sekali tidak mempunyai sarung tangan. Setelah kurang lebih 2 jam berjalan aku sampai di sebuah pondok, kulihat teman-teman yang telah duluan sampai sedang beristirahat didalam pondok yang tingginya hampir 2 meter, sehingga apabila ingin masuk kedalam pondok yang ternyata tidak terkunci ini harus melewati anak tangga dari kayu, adapula yang kulihat sedang melaksanakan shalat dhuhur, melihat pondok dari jarak kurang lebih 5 meter serasa melihat garis finish saja, mata mulai berkunang-kunang, pakaian yang kukenakan sudah basah oleh keringat, sampai didepan pondok tenaga serasa bersisa 30%, akupun ambruk didepan pondok sebegitu sampai…bukan karena pingsan, namun kuakui ini benar-benar melelahkan, akupun rebahan di sisi jalan setapak tanpa alas berbantalkan ransel, menurut Mas Yuliarso sang ketua pendakian, pondok ini adalah pertengahan jalan untuk mencapai puncak hauk, teman-teman menamakan pondok ini pondok cinta, entahlah kenapa dan siapa pula yang pertama kali memberi nama yang demikian. Sepertinya pondok ini hanya di gunakan pada saat musim huma tiba, Nampak tidak terawat namun lumayan kokoh sebagai pondok ditengah hutan.
Keringat yang membanjir di seluruh tubuh tak kupedulikan, tegukan air mineral lebih banyak kuteguk…terbersit pikiran untuk putar haluan pada saat teman-teman mulai melanjutkan perjalanan, tawaran permen dan gula merah yang ditawarkan teman-teman yang akan berangkat tak bisa kutolak, rasa manisnya dan kandungan glokusanya kembali membangkit tenaga yang habis terkuras, temanku yang muntah-muntah selama perjalanan memutuskan melanjutkan pendakian, kuputuskan melanjutkan pendakian setelah punggung teman-teman tak tampak lagi dari pandangan, jalan yang mesti dilalui berikutnya berupa tanjakan padang ilalang yang tingginya ±2 meter, selebihnya aku benar-benar berada ditengah hutan, yang kutahu hanyalah pohon sungkai dengan berbagai ukuran selebihnya aku tak mengetahuinya. Selebihnya dalam pendakian puncak hauk ini hanya kesenangan saja yang kujumpai, sejujurnya kuakui inilah pertama kalinya melakukan pendakian, namun pemandangan yang terhampar akan menjadi munafik bila kukatakan tidak indah, ternyata benar apa yang pernah kudengar selama ini bahwa Meratus selalu indah dalam musim apapun, kau tidak dapat membedakan antara musim hujan atau kemarau. Semua musim itu sama saja, alam terbiasa tenang, hutan kelam, dan kicau burung beterbangan. Pada musim hujan kupu kupu biasanya muncul dari balik semak belukar dan anggrek tropica bergelantungan di pohon pohon.
Aku serasa berada di film the lord of the rings saat memasuki kawasan hutan yang di dominasi pepohonan berwarna merah, terlihat seperti pohon galam dengan kulitnya yang terkelupas, namun dari kekerasannya dan tekstur kayunya seperti pohon jambu kelotok, cahaya matahari sulit masuk dikarenakan rimbunnya kawasan hutan ini, udara terasa sangat sejuk, pohon rotan nampak bergelantungan dan seperti menjulur kebawah, kuteriakkan dengan lantang hoooooi…..dan jawaban dari team diatas pun menyahuti dengan lantang, demikian pula terdengar sahutan dari arah belakang pertanda aku tidaklah sendirian dikawasan ini.
Dari kejauhan kulihat hamparan rumput hijau….pada saat aku berada didepannya nampaklah ini bukan lebih tepat seperti lumut yang tebal seperti hambal(karpet), pada saat kuinjakkan kaki melewatinya terasa sangat kenyal, kemudian kutemukan rombongan terdepan sedang beristirahat di tepi sebuah pancuran dengan airnya berwarna merah, airnya sangat dingin, cukuplah menyegarkan badan yang kelelahan dan membilas basah keringat ditempat ini, air berwarna kemerahan…namun pada saat di tampung dalam botol kosong air mineral, airnya sangat jernih, tidak berwarna dan tidak berbau, sumber air di tempat ini lah sumber air terdekat dengan puncak gunung hauk.
Pendakian berlanjut, jalan di depan berupa jalan setapak bebabuan yang kemiringannya hampir 75°, pendakian harus ekstra hati-hati, sebelah kanan adalah rimbun pakis dan ilalalng sedang diselah kanan adalah sisi gunung sehingga nampak seperti daerah jurang dan nampaklah lah bahwa kita begitu jauh dari permukaan tanah, yang kalu kita terjatuh…entah akan seperti apa jadinya, bebatuan terasa sangat licin, sehingga kami melewatinya seperti merayap, dibatu-batu yang besar Nampak lumut-lumut seperti hambal dan berserak anggrek hutan tak berbunga serta tanaman kantong semar diketeduhan rimbun ilalang dan pakis, diujung pendakian kami menemukan dataran bertutup tanaman cemara kerdil yang sangat rapat sehingga udara terasa sangat teduh dan bahkan karena kerapatannya sinar matahari pun tak bisa masuk kedataran ini…..dan lumut seperti karpet pun tumbuh dengan suburnya demikian pula anggrek hutan tak berbunga dan berbagai ukuran kantong semar berwarna hijau dan apabila ukurannya besar berwarna merah dengan hiasan warna bintik merah yang lebih tegas…..aku merasa seperti menemukan taman para kurcaci saja. Sambil menunggu rombongan yang masih tertinggal di bawah kami melepaskan tas ransel duduk sambil menikmati tegukan air dan ada pula yang sambil rebahan. Jalan selanjutnya adalah tidak ada lagi pendakiannya…didepan sana Nampak lah tanaman perdu berdaun hijau dan pucuk-pucuknya berwarna merah…..temanku yang pernah mendaki mengatakan itulah puncak gunung hauk.
Pada akhirnya kami puncak hauk kami jejakkan setelah setelah ± 5 jam berjalan dan mendaki, puncak hauk ini berupa datan bergelombang dengan ukuran ± 20 meter x 100 meter, tanahnya ditumbuhi rumpaut, cemara kerdil dan tanaman perdu berdaun hijau dengan pucuknya yang khas berwarna kemerahan dan ada pula bebatuan berbagai ukuran daerahnya bersih, sampah yang ada hanyalah berupa sisa-sisa ancak kering bekas masyarakat dayak pitap meletakkan sesaji dan tengkorak kepala kambing sebagai pelengkap sesaji ritual masyarakat…..udara sore masih terasa panas kami rasakan dan untuk melawan hangatnya matahari, kami berteduh di bawah pepohonan perdu…pukul 5.30 udara bertiup semakin kencang,membawa keteduhan dan lama-kelamaan semakin dingin yang terasa mulai menusuk tulang…..kami pun mulai memakai jacket dan menyalakan menylakan api unggun didaerah berbatu dan sebagian mulai mendirikan tenda…..matahari mulai menampakan tanda-tanda kepulangannya, matahari berwarna agak kemerahan dan Nampak didepan kami….pada saat ini kami mulai bertayamum dan bersiap melaksanakan siasa yang tersisa dari shalat ashar….di matras aku bersimpuh dan diakhir do’a kuucapkan kebesaranmu dan teringat cerita di masa kecil bahwa mereka yang telah tiada berada di atas langit….sehingga dalam ego terbersit harap aku mengetuk satu pintu di langit dan mendapati Abah yang telah tiada kutemukan disana….Abah aku berada jauh dari permulaan kita berada, namun ini hanya lah harap…yang ada hanyalah kebesaran Tuhan dan dengan kekaguman atas semua kuakhiri shalat ashar dan bersiap melanjutkan shalat magrib…..udara malam semakin kental dan kegelapan menjadi raja, niat hati tak akan melewatkan malam-malam di puncak hauk pun tak kesampaian…diatas matras terlelap aku, tak jauh dariku teman-temanku disamping api unggun pun tak beda, pukul dini 2 malam tetes embun jatuh membias di wajah….suara alam menjadi jelas, suara gong lamat-lamat terdengar tanda bahwa Aruh adat di desa Langkap masih berlangsung, embun dan disertai angin yang berhembus kencang menjadidikanku gigil dalam dinginnya…..kurapatkan jeket dan kurapatkan badanku ke dekat api unggun, kuhangatkan air dan dengan secangkir kopi hangat, kiranya cukuplah untuk mengakhiri catatan ini.

   



Kusadari sepenuhnya, hasil tulisan ini tidak mungkin sempurna dan mendalam karena aku hanya menghabiskan waktu yang tidak lama, dan tidak bermaksud membuat penelitian, tapi paling tidak, ada hal-hal yang bisa kutangkap secara langsung dan bisa kukabarkan pada orang-orang yang belum pernah kesana.