Ada
anggapan bagi kawan-kawan yang pernah bekerja di wilayah Tebing Tinggi
bahwasanya tak lengkap semuanya itu apabila belum menjejakkan kaki di Puncak
gunung Hauk. Sejujurnya sejak aku ditempatkan bekerja di Puskesmas Tebing
Tinggi tahun 2006 selalu ada cerita tentang keberadaan Gunung Hauk, baik dari
teman-teman di Puskesmas atau pun dari teman-teman di Unit Kerja lainnya di
wilayah Kecamatan Tebing Tinggi. dan bahkan setiap kali kumpul dengan
teman-teman diluar kecamatan Tebing Tinggi pertanyaan tentang Gunung Hauk
terkadang muncul dengan sendirinya. Sebegitu besarkah pamor dari Gunung Hauk
ini ?
Gunung
Hauk memang mempunyai daya tarik luar biasa, sebagai bagian dari Pegunungan
Meratus meski bukan yang tertinggi di Kalimantan Selatan namun di kabupaten
Balangan Gunung Hauk adalah yang tertinggi, ketinggiannya menurut beberapa
pendapat ada yang mencapai 1.525 MDPL, 1.325 MDPL, ada pula yang mengatakan
hanya 1.025 MDPL entah mana yang lebih benar. Bagi Masyarakat Desa Ajung
kecamatan Tebing Tinggi Kab. Balangan dimana Gunung ini berada dan Masyarakat
Dayak Pitap Gunung ini adalah Gunung yang di sakralkan, dipuncak gunung ini lah
peletakan segala nadjar mereka, meletakkan harapan dan sebagainya demi
kemaslahatan hidup mereka, menurut bapak Kepala Desa Ajung : Bapak Junal, dalam
ritual-ritual adat keagamaan yang dilaksanakan, maka segala roh yang menguasai dan
berada di Gunung Hauk di undang untuk ikut hadir dalam Upacara yang
dilaksanakan dan merestui semua harapan. Sehingga beliau mengharapkan bagi yang
melaksanakan pendakian untuk tidak berbuat hal-hal yang berlebihan, berbuat
kemungkaran dan merusak segala yang ada baik yang ditemukan selama dalam
perjalanan ataupun saat berada di puncaknya, dan apabila mau mengambil sesuatu
dari tempat-tempat tersebut ambillah seperlu nya saja. Bila mau buang air kecil
atau buang air besar minta izinlah kepada para penunggu Gunung tersebut, dan
yang tak kalah penting sebelum melakukan pendakian kepuncak mintalah izin
kepada para Tetuha adat dengan menyampaikan maksud dan tujuan pendakian.
Kesempatanku
untuk menjejakkan kaki di puncak Hauk pun datang tanpa disengaja, meski memang
teman-teman di Puskesmas sudah merencanakan keberangkatan jauh-jauh hari
sebelumnya, namun dikarenakan kesibukan – kesibukan, Aku sebenarnya adalah
orang yang tidak termasuk team pendakian yang berangkat pada hari Sabtu tanggal
6 September 2014 itu, kebetulan nya terjadi karena pada hari itu aku ikut
sebagai team pelayanan kesehatan di Desa Ajung dan berangkat duluan ke tempat
acara pelayanan kesehatan di bandingkan team pendakian puncak Hauk, secara
kebetulan lagi pada hari tersebut banyak masyarakat Desa Ajung yang keluar Desa
menghadiri Aruh Adat di Desa Langkap kecamatan Tebing Tinggi, sehingga acara
pelayanan kesehatan pada saat team pendakian Puncak Hauk tiba di Desa Ajung
Pelayanan Kesehatan Daerah Tertencil sudah hampir selesai, teriakan kawan-kawan
yang memanggil ku dengan ucapan ‘kapan lagi’ menjadikan keinginanku untuk
mencapai Puncak Hauk timbul dengan
sendirinya. Kubuka jok kendaraanku ada jaket tebal kusam yang bisa kugunakan
untuk sedikit melawan udara dingin dipuncak. Dengan bekal 2 bungkus mie Instan,
dan 1500ml air mineral yang ku beli di warung Bos Suwandi di desa Ajung, aku
resmi menyatakan diri secara suka rela sebagai bagian dari Team Pendakian
Puncak Hauk Puskesmas Tebing Tinggi.
Rute
yang di gunakan dalam pendakian adalah Desa Ajung sebagai titik keberangkatan,
disana pula teman-teman menitipkan kendaraan Roda Dua dan Mobil dirumah Bapak
Sekdes Desa Ajung, Bapak Rahmadi atau Pak Rahna Sekaligus meminta Izin
pendakian. Dari Desa Ajung, perjalanan kami mulai dengan jalan kaki menuju Batu
Ajung melewati jembatan Gantung Desa, Batu Ajung Sendiri merupakan daerah Sungai yang terdapat Batu yang sangat
besar ditengah sungainya. Kami sampai diseberang sungai Dengan membelah sungai
Batu Ajung yang jernih dan hanya selutut orang dewasa sampai diseberang sungai kembali
Ketua Team Pendakian Mas Yuliarso menyarankan pemeriksaan perbekalan logistic, waktu
yang demikian ini digunakan oleh kawan-kawan untuk makan Siang ditengah rimbun
bambu karena jam sudah menunjukkan Pukul 11 Siang meski sadar sebegitu selesai
makan langsung melakukan pendakian. Anggapannya seperti sepeda motor kali
ya……sebelum jalan harus isi tangki bahan bakar full dulu, atau mungkin bisa
jadi juga karena takut nanti tidak sempat makan lagi karena menurut kabar
pendakian ke puncak Hauk bisa sampai 4 jam, nah kami ini semua adalah para para
pendaki amatiran bisa jadi waktu pendakian menjadi lebih lama. Aku termasuk
orang yang tidak ikut makan, bukan malu minta sama teman-teman yang bawa nasi
bungkus dari bawah, namun setahuku kurang bagus apabila melaksanakan aktivitas
fisik sehabis Makan, karena sehabis makan maka tubuh kita akan melakuakan
aktivitas mencerna makanan dan tubuh kita pun melaksanakan aktivitas pendakian,
artinya pada saat bersamaan tubuh kita melaksanakan aktivitas ganda, tentu
tubuh kita akan menjadi lebih cepat lelah nantinya.
Akhirnya
setelah sekitar 15 menit acara makan teman-teman, perjalanan pun dilanjutkan,
jalan yang dilewati adalah jalan setapak berwarna merah khas daerah pegunungan,
disisi kiri kanan jalan setapak ini adalah pohon-pohon bambu dan perkebunan
karet warga. Jalan-jalan ini pun sudah mulai mendaki dengan sudut kemiringan
mencapai lebih dari 30°, 15 menit berlalu kaki mulai terasa pegal dan napas
mulai memburu, untuk membantu langkah yang berat aku ambil ranting kayu yang ku
jadikan sebagai tongkat. Dan tanpa di duga di tempat-tempat seperti ini
ternyata ada sinyal seluler yang hilang timbul aku gunakan untuk memberi kabar
kerumah tentang keikut sertaan ku dalam pendakian ini. Bicara langsung dengan
menelpon tidak bisa jadi dengan hanya menggunakan pesan singkat kabar ini pun
pending laporannya di layar ponselku.
Team
pendakian mendaki saling beriringan, semangat ku mulai kendur sehingga
terbersit di hati untuk turun saja dan ikut turun dengan anggota team PNPM
kecamatan Tebing Tinggi yang urung melanjutkan pendakian. Apalagi saat kuraba
di Saku celanaku harmonica ku tercecer entah di mana dan perasaanku tentang
kecukupan Air minum yang kubawa hanya 1.500 ml apa cukup sampai besok hari,
namun saat melihat kawan-kawan di bawah yang terus melangkah…..keinginanku
untuk menjejakkan kaki dipuncak Hauk kembali timbul, meski apabila menatap
kedepan kembali yang kutemukan tanjakan jalan setapak yang mulai tertutup
dedaunan layu semangat ini pun ikut-ikutan luruh pula, sehingga mungkin
seandainya ada gambaran tentang semangat pendakianku ini persis seperti grafik
yang turun naik, turun naik dari angka terendah naik ke angka tertinggi dan tak
seberapa terus melorot ke titik paling dalam lagi.
Kami
yang pada awal berjalan beriringan perlahan mulai terpisah-pisah, hanya
teriakan ‘Hoiiii’ yang sesekali terdengar dan bagi yang mendengarnya akan
menimpalinya dengan teriakan yang sama, bagi yang berada di barisan belakang
teriakan yang didengar ini serasa menjadi penyemangat bahwa ia sebenarnya ia
tidaklah tertinggal dari kelompok terlalu jauh sedang yang berada didepan
teriakan ini sebagai pertanda pula bahwa ia tidak lah sendirian dan menumbuhkan
keyakinan bahwa jalan yang dilewatinya bukan jalan yang salah, dengan
pemandangan disisi jalan yang berupa tanaman karet dan kadang memasusuki rimbun
ilalang masih belum memberiku daya tarik,hanya semakin terasa punggungku
semakin basah oleh keringat, lebih sialnya lagi matahari benar-benar berada
persis diatas kepalaku dan tangan memegang tongkatpun mulai terasa perih karena
terkelupas, disini aku baru sadar tak ada yang salah kalau kita memakai sarung
tangan, yang salah sebenarnya adalah aku karena sama sekali tidak mempunyai
sarung tangan. Setelah kurang lebih 2 jam berjalan aku sampai di sebuah pondok,
kulihat teman-teman yang telah duluan sampai sedang beristirahat didalam pondok
yang tingginya hampir 2 meter, sehingga apabila ingin masuk kedalam pondok yang
ternyata tidak terkunci ini harus melewati anak tangga dari kayu, adapula yang
kulihat sedang melaksanakan shalat dhuhur, melihat pondok dari jarak kurang
lebih 5 meter serasa melihat garis finish saja, mata mulai berkunang-kunang,
pakaian yang kukenakan sudah basah oleh keringat, sampai didepan pondok tenaga
serasa bersisa 30%, akupun ambruk didepan pondok sebegitu sampai…bukan karena
pingsan, namun kuakui ini benar-benar melelahkan, akupun rebahan di sisi jalan
setapak tanpa alas berbantalkan ransel, menurut Mas Yuliarso sang ketua
pendakian, pondok ini adalah pertengahan jalan untuk mencapai puncak hauk,
teman-teman menamakan pondok ini pondok cinta, entahlah kenapa dan siapa pula
yang pertama kali memberi nama yang demikian. Sepertinya pondok ini hanya di
gunakan pada saat musim huma tiba, Nampak tidak terawat namun lumayan kokoh
sebagai pondok ditengah hutan.
Keringat
yang membanjir di seluruh tubuh tak kupedulikan, tegukan air mineral lebih
banyak kuteguk…terbersit pikiran untuk putar haluan pada saat teman-teman mulai
melanjutkan perjalanan, tawaran permen dan gula merah yang ditawarkan
teman-teman yang akan berangkat tak bisa kutolak, rasa manisnya dan kandungan glokusanya
kembali membangkit tenaga yang habis terkuras, temanku yang muntah-muntah
selama perjalanan memutuskan melanjutkan pendakian, kuputuskan melanjutkan
pendakian setelah punggung teman-teman tak tampak lagi dari pandangan, jalan
yang mesti dilalui berikutnya berupa tanjakan padang ilalang yang tingginya ±2
meter, selebihnya aku benar-benar berada ditengah hutan, yang kutahu hanyalah
pohon sungkai dengan berbagai ukuran selebihnya aku tak mengetahuinya.
Selebihnya dalam pendakian puncak hauk ini hanya kesenangan saja yang kujumpai,
sejujurnya kuakui inilah pertama kalinya melakukan pendakian, namun pemandangan
yang terhampar akan menjadi munafik bila kukatakan tidak indah, ternyata benar
apa yang pernah kudengar selama ini bahwa Meratus selalu indah dalam musim
apapun, kau tidak dapat membedakan antara musim hujan atau kemarau. Semua musim
itu sama saja, alam terbiasa tenang, hutan kelam, dan kicau burung beterbangan.
Pada musim hujan kupu kupu biasanya muncul dari balik semak belukar dan anggrek
tropica bergelantungan di pohon pohon.
Aku
serasa berada di film the lord of the rings saat memasuki kawasan hutan yang di
dominasi pepohonan berwarna merah, terlihat seperti pohon galam dengan kulitnya
yang terkelupas, namun dari kekerasannya dan tekstur kayunya seperti pohon
jambu kelotok, cahaya matahari sulit masuk dikarenakan rimbunnya kawasan hutan
ini, udara terasa sangat sejuk, pohon rotan nampak bergelantungan dan seperti
menjulur kebawah, kuteriakkan dengan lantang hoooooi…..dan jawaban dari team
diatas pun menyahuti dengan lantang, demikian pula terdengar sahutan dari arah
belakang pertanda aku tidaklah sendirian dikawasan ini.
Dari
kejauhan kulihat hamparan rumput hijau….pada saat aku berada didepannya
nampaklah ini bukan lebih tepat seperti lumut yang tebal seperti
hambal(karpet), pada saat kuinjakkan kaki melewatinya terasa sangat kenyal,
kemudian kutemukan rombongan terdepan sedang beristirahat di tepi sebuah
pancuran dengan airnya berwarna merah, airnya sangat dingin, cukuplah
menyegarkan badan yang kelelahan dan membilas basah keringat ditempat ini, air
berwarna kemerahan…namun pada saat di tampung dalam botol kosong air mineral,
airnya sangat jernih, tidak berwarna dan tidak berbau, sumber air di tempat ini
lah sumber air terdekat dengan puncak gunung hauk.
Pendakian
berlanjut, jalan di depan berupa jalan setapak bebabuan yang kemiringannya
hampir 75°,
pendakian harus ekstra hati-hati, sebelah kanan adalah rimbun pakis dan
ilalalng sedang diselah kanan adalah sisi gunung sehingga nampak seperti daerah
jurang dan nampaklah lah bahwa kita begitu jauh dari permukaan tanah, yang kalu
kita terjatuh…entah akan seperti apa jadinya, bebatuan terasa sangat licin,
sehingga kami melewatinya seperti merayap, dibatu-batu yang besar Nampak lumut-lumut
seperti hambal dan berserak anggrek hutan tak berbunga serta tanaman kantong
semar diketeduhan rimbun ilalang dan pakis, diujung pendakian kami menemukan
dataran bertutup tanaman cemara kerdil yang sangat rapat sehingga udara terasa
sangat teduh dan bahkan karena kerapatannya sinar matahari pun tak bisa masuk
kedataran ini…..dan lumut seperti karpet pun tumbuh dengan suburnya demikian
pula anggrek hutan tak berbunga dan berbagai ukuran kantong semar berwarna
hijau dan apabila ukurannya besar berwarna merah dengan hiasan warna bintik
merah yang lebih tegas…..aku merasa seperti menemukan taman para kurcaci saja. Sambil
menunggu rombongan yang masih tertinggal di bawah kami melepaskan tas ransel
duduk sambil menikmati tegukan air dan ada pula yang sambil rebahan. Jalan selanjutnya
adalah tidak ada lagi pendakiannya…didepan sana Nampak lah tanaman perdu
berdaun hijau dan pucuk-pucuknya berwarna merah…..temanku yang pernah mendaki
mengatakan itulah puncak gunung hauk.
Pada
akhirnya kami puncak hauk kami jejakkan setelah setelah ± 5 jam berjalan dan
mendaki, puncak hauk ini berupa datan bergelombang dengan ukuran ± 20 meter x
100 meter, tanahnya ditumbuhi rumpaut, cemara kerdil dan tanaman perdu berdaun
hijau dengan pucuknya yang khas berwarna kemerahan dan ada pula bebatuan
berbagai ukuran daerahnya bersih, sampah yang ada hanyalah berupa sisa-sisa
ancak kering bekas masyarakat dayak pitap meletakkan sesaji dan tengkorak
kepala kambing sebagai pelengkap sesaji ritual masyarakat…..udara sore masih
terasa panas kami rasakan dan untuk melawan hangatnya matahari, kami berteduh
di bawah pepohonan perdu…pukul 5.30 udara bertiup semakin kencang,membawa
keteduhan dan lama-kelamaan semakin dingin yang terasa mulai menusuk tulang…..kami
pun mulai memakai jacket dan menyalakan menylakan api unggun didaerah berbatu
dan sebagian mulai mendirikan tenda…..matahari mulai menampakan tanda-tanda
kepulangannya, matahari berwarna agak kemerahan dan Nampak didepan kami….pada
saat ini kami mulai bertayamum dan bersiap melaksanakan siasa yang tersisa dari
shalat ashar….di matras aku bersimpuh dan diakhir do’a kuucapkan kebesaranmu
dan teringat cerita di masa kecil bahwa mereka yang telah tiada berada di atas
langit….sehingga dalam ego terbersit harap aku mengetuk satu pintu di langit
dan mendapati Abah yang telah tiada kutemukan disana….Abah aku berada jauh dari
permulaan kita berada, namun ini hanya lah harap…yang ada hanyalah kebesaran
Tuhan dan dengan kekaguman atas semua kuakhiri shalat ashar dan bersiap
melanjutkan shalat magrib…..udara malam semakin kental dan kegelapan menjadi
raja, niat hati tak akan melewatkan malam-malam di puncak hauk pun tak
kesampaian…diatas matras terlelap aku, tak jauh dariku teman-temanku disamping
api unggun pun tak beda, pukul dini 2 malam tetes embun jatuh membias di wajah….suara
alam menjadi jelas, suara gong lamat-lamat terdengar tanda bahwa Aruh adat di
desa Langkap masih berlangsung, embun dan disertai angin yang berhembus kencang
menjadidikanku gigil dalam dinginnya…..kurapatkan jeket dan kurapatkan badanku
ke dekat api unggun, kuhangatkan air dan dengan secangkir kopi hangat, kiranya
cukuplah untuk mengakhiri catatan ini.
Kusadari
sepenuhnya, hasil tulisan ini tidak mungkin sempurna dan mendalam karena aku
hanya menghabiskan waktu yang tidak lama, dan tidak bermaksud membuat
penelitian, tapi paling tidak, ada hal-hal yang bisa kutangkap secara langsung
dan bisa kukabarkan pada orang-orang yang belum pernah kesana.